Jumat, 22 Februari 2008

Lodan: Pemkab dan DPRD Tipu Rakyat Ile Ape

“Kecamatan Ile Ape Status Quo”

n Lodan: Pemkab dan DPRD Tipu Rakyat Ile Ape

Laporan: Eli Making/Demos NTT

Inilah sikap tegas masyarakat adat Lewohala yang tergabung dalam Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang. Mereka mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya adalah mengusulkan kepada Bupati Lembata untuk tidak melaksanakan Perda Kabupaten Lembata Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kecamatan Ile Ape. Pun, mereka mengingatkan untuk tidak meresmikan Kecamatan Ile Ape Timur.

Tak cuma itu. Masyarakat adat Lewohala juga meminta Bupati Lembata untuk meninjau kembali Perda Nomor 18 Tahun 2007 dengan memperhatikan wilayah desa, aspek pendekatan pelayanan, dan aspek historis.

“Sambil menunggu peninjauan kembali Perda Nomor 18 tahun 2007 maka kondisi kecamatan Ile Ape tetap status quo sebagaimana telah termuat didalam surat pernyataan nomor: 01/PB-WU/I/2008,” tandas Paulus Kupang, SH juru bicara Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, kepada wartawan.

Dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh enam puluh dua wakil masyarakat adat Lewohala, mereka menyatakan Perda Kabupaten Lembata nomor 18 Tahun 2007 tidak tumbuh atau berakar pada aspirasi masyarakat Ile Ape. Dengan demikian sudah pasti Perda tersebut tidak dapat dipatuhi dan dilaksanakan karena penetapan peraturan daerah tersebut sangat bertentangan dengan hakekat pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Perda Pemekaran Kecamatan tidak meperhatikan aspek pendekatan pelayanan sebagai aspek utama dalam menetapkan pemekaran kecamatan dan Perda tersebut tidak memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat Ile Ape, khususnya Desa Jontona dan Desa Todanara,” kata Paulus.

Selain itu, lanjut mantan pejabat pada lingkungan Setda Kabupaten Lembata ini, aspek pendekatan pelayan pemerintah juga mestinya mempertimbangkan aspek sosial budaya dan aspek historis sebuah wilayah. Anehnya, Pemekaran Kecamatan Ile Ape tidak mempertimbangkan faktor itu. Kecamatan Ile Ape sejak dulu sudah dibagi dalam dua wilayah, yakni wilayah Wuring dan Wilayah Ebang atau wilayah Nuba Pito dan Nara Lema.

Wilayah Nuba Pito meliputi Lamawolo, Lamatokan, Lamau, Au Lesa, Waimatan, Lamagute, Napasabok, Bunga Muda, Desa Ama Kaka, dan Tanjung Batu Waowala. Sedangkan, wilayah Nara Lema terdiri dari Desa Jontona, Todanara, Watu Diri, Muruona, Laranwutun, Kolontobo, Petuntawa, Desa Tagawiti, Dulitukan, Palilolon, dan Kolipadan.

Dalam pemekaran kecamatan, menurut mereka, secara diam-diam Desa Jontona dan Todanara dimasukkan ke wilayah Kecamatan Ile Ape Timur yang adalah wilayah Nuba Pito. Padahal, Desa Jontona dan Todanara merupakan icon budaya Lewohala. “Pelaksanaan ritual adat pesta kacang Lewohala diawali oleh masyarakat di kedua desa ini,” tegas Paulus, mengingatkan.

Dikatakan bahwa Lewohala merupakan sebuah rumah besar yang memiliki tujuh kamar, yang dihuni warga kampung Jontona, Todanara, Watudiri, Muruona, Larawutun, Kolontobo, dan Petuntawa. “Jika kedua kamar di rumah Lewohala ini dibongkar, sama dengan meremehkan budaya Lewohala dan mengancam kerukunan masyarakat adat Lewohala,” tandasnya.

Untuk itulah, sambung dia, “Kami sebagai anak tanah Lewohala tidak setuju kalau dua desa, yaitu desa Jontona dan Todanara terlepas dari wilayah adatnya sendiri yakni Lewohala.”

Ketika disinggung apakah dirinya melihat ada kepentingan pribadi dalam pembentukan Kecamatan Ile Ape Timur, Paulus mengaku belum tahu. Ya, “Kami belum tahu ada kepentingan apa, dan jangan karena ada kepentingan tertentu, lalu korbankan rakyat,” ujarnya, menegaskan.

Pada kesempatan yang sama, Stefanus Anton Making alias Lodan mengingatkan bahwa jarak dari Desa Jontona ke pusat Kecamatan Ile Ape Timur adalah 12 kilometer. Sedangkan, dari Jontona ke pusat Kecamatan Ile Ape hanya 5 kilometer. “Jadi bagaimana mungkin pemekaran kecamatan dikatakan sebagai pendekatan pelayanan?” tegasnya, heran, mengomentari argumentasi sejumlah oknum anggota Dewan dan Pemkab Lembata.

Diakui bahwa sebelum pemekaran kecamatan itu telah ada kesepakatan dalam rapat sosialisai rencana pemekaran kecamatan yang dilakukan di Desa Ebak. “Kesepakatan ketika itu adalah pembagian wilayah kecamatan sesuai pembagian wilayah yang telah ditetapkan sejak jaman nenek moyang, yakni wilayah Nuba Pito pada satu pihak, dan wilayah Nara Lema pada pihak lain. Dalam kenyataannya, ditetapkan lain,” tegas Lodan.

Karena itu, “Saya menganggap pemerintah dan DPRD Lembata telah menipu rakyat Ile Ape karena hadir dalam rapat ketika itu seluruh Kepala Desa, BPD, tokoh masyarakat, dan tokoh adat se-Kecamatan Ile Ape,” kata Lodan. (*)

Komunitas Adat Lewohala “Duduki” DPRD Lembata

* Bupati Diduga Menghindar, Ruang DPRD Kosong

Laporan: Elias Keluli Making

Praktek politik masa lalu yang acapkali top dow (dari atas) sudah tidak jamannya lagi. Masyarakat bersikeras menolak keputusan yang dianggap mengganggu keutuhan komitas adat. Jika Leragere dan Kedang menolak kebijakan soal rencana investasi tambang, kini giliran komunitas adat Lewohala, kecamatan Ile Ape menolak keputusan soal pembentukan Kecamatan Ile Ape Timur. Terus?

Masyarakat adat Lewohala yang terhimpun dalam Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, Kamis (31/1/2008) memadati ruang lobi Kantor Bupati Lembata. Sebelumnya, mereka sudah menyurati Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk. Tapi, apa lacur? Mereka harus menelan kecewa. Pasalnya, Bupati Manuk sedang berada di luar daerah.

Ya, “Kami tidak dapat bertemu dengan Bupati Lembata. Padahal, tiga hari sebelumnya Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang sudah mengirim surat kepada Bupati Lembata dan DPRD menyampaikan niatan masyarakat untuk beraudiens dengan Bupati dan DPRD terkait Pemekaran Kecamatan Ile Ape yang telah ditetapkan melaui Perda Kabupaten Lembata nomor 18 tahun 2007 itu,” jelas juru bicara Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, Paulus Kupang, SH kepada pers di lobi Kantor Bupati.

Dia menjelaskan bahwa masyarakat yang datang adalah utusan yang mewakili tujuh desa dalam wilayah adat Lewohala. Yakni, Desa Petuntawa, Kolontobo, Laranwutun, Muruona, Watodiri, Todanara dan Jontona.

Paulus menduga ada unsur kesengajaan dari Bupati Manuk untuk menghindari pertemuan dengan komunitas adat Lewohala. Ya, “Mungkin saja bupati sengaja menghindar, karena kami sebelumnya sudah mengirim surat untuk menyampaikan maksud untuk bertemu dengan Bupati,” ujarnya, kesal.

Jika bukan kesengajaan, sambung Paulus, mestinya bupati sudah memberikan rekomendasi kepada salah seorang pejabat di lingkup Setda Kabupaten Lembata untuk menerima kedatangan rombongan masyarakat adat Lewohala. “Tapi kenyataannya tidak ada,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa dirinya sudah menemui Asisten I bidang pemerintahan Setda Lembata, Drs. Stanis Nunang, dan memintanya untuk mewakili pemerintah Kabupaten Lembata menerima surat pernyataan dari masyarakat adat Lewohala. “Namun jawabannya sangat mengecewakan kami. Katanya, dirinya tidak diberikan wewenang oleh bupati untuk menerima surat pernyataan masyarakat,” tandas Paulus, prihatin.

Ke DPRD

Tak diterima seorangpun pejabat pemerintah, para wakil masyarakat adat Lewohala menuju ke Gedung DPRD Lembata, yang terletak bersebelahan dengan kantor Bupati Lembata. Sayangnya, mereka kembali dibuat kecewa. Pasalnya, tak satupun anggota Dewan yang berhasil ditemui. Ruang sidang gedung Peten Ina tak berpenghuni kecuali pegawai sekretariat Dewan.

Dari para staf Sekretariat Dewan diperoleh informasi bahwa para wakil rakyat terhormat sedang “turun ke bawah” alias turba sampai Sabtu (9/2/2008). Wakil rakyat akan kembali lagi berkantor pada Senin (11/2/2008). Tak ayal lagi, Ketua Forum Peduli Budaya Wuring Ebang, Stefanus Anton Making alias Lodan naik pitam. Dia langsung memanggil semua anggotanya untuk berkumpul di ruang sidang DRRD Lembata. “Anggota DPRD terhormat semua tidak berada di tempat. Jadi sekarang kita sebagai masyarakat yang memilih mereka, masuk dan bersidang ini rumah kita,” tandasnya dengan kesal.

Lodan pun melangkah menuju meja pimpinan sidang, didampingi dua orang anggota forum. Dia langsung duduk di kursi yang biasa diduduki ketua DPRD Lembata, Drs. Petrus Boliona Keraf ketika memimpin sidang Dewan. Yang menarik, dua pendampingnya mengambil posisi duduk di kiri kanan meja pimpinan sidang.

Dari meja pimpinan sidang, Lodan berkata, “Ini sebuah rekayasa. Bagaimana mungkin rumah rakyat ditinggal kosong tak berpenghuni. Kalaupun turba, mestinya ada salah seorang pimpinan yang tinggal.”

Kejadian ini tidak berlangsung lama. Utusan masyarakat Lewohala, kemudian keluar ruangan dengan wajah memendam kesal.

Saat di ruang lobi gedung DPRD Lembata, Paulus Kopong langsung menemui wartawan. “Walaupun DPRD sedang menjalan tugas diluar tetapi rumah rakyat ini tidak boleh dibiarkan kosong. Ini adalah cambuk bagi wakil rakyat terhormat. Kami melakukan ini karena kami merasa tidak dihargai oleh DRPD dan Pemerintah,” tandasnya.

Alhasil, surat pernyataan yang dibawa untuk diserahkan kepada Pemkab dan DPRD Lembata tidak berhasil diserahkan langsung ke tangan Bupati dan Ketua DPRD Lembata. Mereka bersikukuh menolak Perda 18 Tahun 2007. (*)

Rabu, 06 Februari 2008

Pejuang dan Politisi

Oleh: Fredy Wahon

“Pagi pejuangku! Kami bangga punya engkau. Selamat ya! Teguhlah pada janjimu pada rakyat! Sayang selalu dari mama dan anak-anak.”
SAYA tertegun membaca deretan kata-kata di “samsung”ku yang mulai usang dimakan usia. Maklum, pesan singkat itu datang tepat pada saat saya memutuskan untuk mencurahkan perhatian dan mengayun langkah di rimba raya politik. Sehingga pesan dari perempuan yang dalam kurun waktu satu dekade ini menjadi teman hidup saya, tentu saja, menjadi kekuatan mahadhasyat bagi langkah perjuangan. Untuk apa?
Ziarah hidup memang tidak pasti. Eyang Soeharto yang di masa mudanya tampak gagah berani memimpin pasukan perang, akhirnya harus membujur lemas di Rumah Sakit Pusat Pertamina sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya terakhir. Kekayaan yang dikumpulkan –yang diduga sebagai hasil korupsi—selama 32 tahun memerintah, tak satupun yang dibawa ke liang lahat kecuali kain kafan. Tapi, berita kematiannya sungguh menyita pemberitaan seluruh media massa, terutama televisi dalam negeri. Beberapa rekan saya yang pernah satu atap di Jalan Sam Ratulangie No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, menyempatkan diri untuk melayat ke rumah duka Eyang Sepuh di Jalan Cendana Nomor 8, tempat jenazah sang otoriter itu disemayamkan, tak jauh dari “markas pergerakan” kami tahun 1998 silam.
“Apakah ini harus disyukuri atau dimaafkan dan didoakan keselamatannya?” Itulah pesan singkat yang datang dari rumah duka. Tentu saja, dari seorang sahabat yang bersama-sama bergulat dengan teriknya matahari, dan ancaman senapan di tahun 1998. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Saya cuma merenungkan kembali perjalanan hidup Eyang Sepuh dari masa mudanya hingga akhirnya wafat. Perjalanan hidup seorang pejuang yang akhirnya menjadi politisi yang sungguh otoriter.
Saya sendiri hanya satu kali berjabat tangan dengan Eyang Sepuh, ketika kebetulan saya berdiri disamping Uskup Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB dalam menerima rombongan Pak Harto untuk meresmikan sejumlah proyek nasional di Timor Timur, dan sekaligus meresmikan patung Kristus Raja di bukit Fatucama, Dili, Timor Leste. Telapak tangan Eyang Sepuh sungguh lembut, seolah tak pernah memegang benda keras. Wajahnya pun ramah, bersahabat. Tapi, siapa yang menyangka, kalau dari tangan itu pula tanda tangannya melahirkan sejumlah keputusan yang ademokratis. Keputusan yang bahkan tak sedikit melahirkan duka derita anak bangsa.
Pembantaian terbesar semasa pemerintahannya adalah pembunuhan aktifis Partai Katolik Indonesia (PKI) beserta antek-anteknya, setelah partai politik pemenang pemilu itu dinyatakan sebagai partai terlarang, tahun 1965. Dalam buku “PALU ARIT di Ladang Tebu”, sejarahwan Hermawan Sulistyo melukiskan bagaimana orang-orang PKI dihabisi. Diperkirakan sekitar 78.000 – 500.000 orang dibantai dalam kurun waktu 1965-1966.
Pak Harto benar-benar kejam. Lawan-lawannya disingkirkan. Sang pejuang yang jadi politisi kelas dunia itu, berubah jadi sangat otoriter. Ada tiga kelompok pendukungnya, yakni ABRI (sekarang TNI dan Polri), Golkar dan Birokrasi. Tiga kekuatan ini sangat dikuasai Pak Harto. Tak ada gubernur yang tak tanpa restu cendana. Semuanya menjadi sangat terpusat. Sentralistik.
Nah, politik memang selalu menggoda untuk berkuasa. Dan, kata Lord Action, kekuasaan cendrung korup. Kekuasaan yang terlampau lama hanya akan mengubah sosok seorang pemimpin menjadi koruptor besar. Nafsu besar untuk membangun, bisa hancur oleh nafsu orang-orang di pusaran kekuasaan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Maka, berhati-hatilah mereka yang hendak akan ikut bertarung dalam Pilkada Gubernur atau Bupati di sejumlah daerah di NTT, tahun ini.
Ketika sedang asyik membangun diskusi dengan kelompok tani hutan di Lereng Labalekang, Pulau Lembata, saya kembali menerima pesan singkat dari perempuan yang telah melahirkan anak-anakku.
“Saya sudah habiskan buku Soe Hok Gie. Saya kurang hati karena dia mengaku atheis. Tapi, saya jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah saya temui ini. Mengagumi kecerdasannya, keberaniannya, keteguhannya, perjuangannya membela yang benar. Juga, kecintaannya pada alam. Saya tergila-gila pada ‘kegilaannya’ memandang hidup. Lalu, pada hujan setengah lebat sore ini, saya membatin: TUHAN, saya mau melahirkan seorang Soe Hok Gie, sang demonstran.”
Sungguh, saya tak menyangka kalau ngidam buku Soe Hok Gie, telah membuat istri saya tergila-gila pada demonstran yang meninggal di usia muda itu. Tapi, kepadanya saya mengingatkan bahwa pejuang tak selalu bisa menikmati hasil perjuangannya, persis seperti Soe Hok Gie yang mati muda. Atau, juga pejuang Bolivia sekaliber Nestor Paz, gerilyawan yang melihat penindasan, kekejaman dan kekejian imperialisme sebagai musuh yang harus ditumpas. Berbekal niat untuk menegakkan keadilan, Nestor Paz memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan memanggul senjata.
Juga, kepada istri saya, saya mengingatkan bahwa ibunda seorang demonstran harus teguh, kuat, dan tidak jantungan. Sebab, hari-hari yang akan dilaluinya akan penuh dengan ancaman dari perkauman yang terusik. Tapi, apa jawabnya?
“Saya yakin, mungkin Dia yang akan mewarisi darah cerdas, pemberani, demonstran, punya ayahnya. Gie punya kesamaan dengan ayah dari anak-anak saya, sebelum dia terseret ke dunia politik. Itulah bedanya Gie dengan seorang Fredy. Sebab saya juga yakin kalau Gie tidak mati di usia 27 tahun, dia tidak akan memilih hidup sebagai politisi. Dia akan memilih hidup sebagai seorang dosen dan wartawan (penulis). Dengan begitu, dia menjadi orang-orang bebas.”
Duh! Saya katakan kepada mantan wartawati Harian Pos Kupang ini bahwa politik sebetulnya jalan bagi para pejuang untuk memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. Kekuasaan politik harus direbut oleh orang-orang yang peduli pada rakyat. Peduli pada demokrasi. Peduli pada penegakan hukum. Peduli pada hak-hak azasi manusia. Seperti kata Bung Kanis Pari (alm), “Anakku! Kau mewarisi jiwa orang-orang pemberani, yang basah oleh keringat, air mata dan darah. Tapi, kau masa bodoh dan tidak menentu. Sekaranglah waktunya, kau merebut warisan itu dengan kebajikan dan pengorbanan.”
Ya, itulah yang harus diperjuangkan dalam merebut kekuasaan. Bukan dengan uang untuk membeli suara rakyat. Juga, bukan dengan tipu muslihat untuk merampas kekuasaan. Pun, bukan dengan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan politik. Dengan begitu, kekuasaan politik bisa berjalan pada aras yang benar: demi kemajuan masyarakat yang dipimpin. Iya kan? (*)