Pembukaan tambang secara besar-besaran di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, ditolak warga setempat. Mereka menilai kegiatan pertambangan hanya akan merusak lingkungan dan peradaban di daerah tersebut Sementara tidak semua penduduk di sekitarnya dapat terserap sebagai tenaga kerja.
Usaha pertambangan tersebut tidak akan membawa manfaat bagi penduduk di kawasan itu, sebaliknya justru akan memiskinkan masyarakat. Apalagi dalam catatan kegiatan pertambangan di Indonesia belum ada yang mampu menyejahterakan masyarakat lokal.
Demikian terungkap dalam Panel Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik usaha-usaha Pertambangan Sabtu (1/3} di Jakarta. Diskusi itu menyoroti kisruh Pembukaan tambang tembaga di Lembata.
Diskusi menampilkan pembicara Vande Raring SV.D Ende (dari Office for Justice Peace and integrity of Creation-JPIC). Peter C Aman, OFM (Direktur JP1C), Philipus Muda (tua adat Lera-gere, Lembata), Abu Achmad (tua adat Kedang, Lembata), George Junus Aditjondro (dosen Sanata Dharma Yogyakarta). Hendro Sangkoyo (ahli pertambangan dan energi) Edi Danggur (konsultan hukum pertambangan), dan Bonni Hargens (dosen FISIP UI).
Edi Danggur mengatakan janjii pemerintah bahwa kegiatan pertambangan mampu menaikkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat tidak akan membawa hasil. la mencontohkan, pertambangan di Provinsi Riau menyumbang 80 persen pendapatan asli daerah, namun, tenaga kerja berkualitas yang masih sulit didapat dari penduduk lokal,” kata Edi.
Sementara pembebasan lahan masyarakat dan lahan ulayat untuk Pembukaan kawasan tambang membuat rakyat kehilangan mata pencaharian dan lahan.
Ahli mineral dan pertambangan, Hendro Sangkoyo. mengatakan, “Pemerintah seharusnya mengerem laju pertumbuhan industri keruk jika tidak mampu
mengatur dan mengelolanya. Yang terjadi selalu lingkungan dihabisi dan masyarakat lokal tersinkir.
Penambangan emas yang akan dilakukan PT Merukh Enterpris itu rencananya dilakukan di wilayah Kedang dan Leragere 91.595 hektar atau 72,32 persen dari total luas areal Lembata (126,638 hektar). Mereka melakukan sumpah adat sebelum menolak. Tokoh masyarakat Leragere, Philipus Muda, menegaskan penolakan tambang di Lembata adalah harga mati.”
Terhitung Januari - Juli 2007. Beberapa tetua adat Lembata
Menggelar enam kali ritual adat penolakan tambang. Pemangku adat di Kedang, Abu Achmad, mengatakan, kebijakan pemerintah telah mengabaikan rakyat karena tanpa sosialisasi.
Peter Amart mengatakan, pemerintah tak pernah belajar dari pengalaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, apalagi wilayah Flores bagian dari lintasan jalur gunung api.
Ancaman terutama pada ekologi hilir yang akan mengancam populasi ikan paus di Laut Sawu sekaligus berpotensi menghancurkan peradaban lokal yang memiliki tradisi menombak ikan paus dengan etika kecukupan demi kelangsungan hidup.
“Pertambangan tidak menjawab persoalan masyarakat. Semestinya program pembangunan berbasis potensi masyarakat lokal. Di Lembata banyak ikan laut, mutiara, dan masyarakat tani, itulah yang harus dikembangkan,” kata Peter Aman.
Sementara itu, Aditjondro menyajikan mekanisme “de-lingking” untuk perjuangan pembatalan rencana investasi pertambangan itu. Misalnya dengan mengidentifikasi mitra-mitra asing maupun pialang nasional untuk membantu pengarahan advokasi antitambang secara hemat dan efektif.
Sabtu, 19 April 2008
Kamis, 10 April 2008
KPRL: Bupati Lembata Jangan Berbohong
Lewoleba, ANAK LEMABATA
Koordinator Koalisi Perlawanan Rakyat Lembata (KPRL), Yohanes Boro meminta Bupati Lembata Drs.Andreas Duli Manuk untuk lebih jujur dalam memberikan informasi kepada publik. Hal ini disampaikan berkaitan dengan pemberitaan seputar masalah rencana investasi penambangan di Kabupaten Lembata.“Bupati jangan merasa bahwa penyerahan tanah oleh sejumlah oknum yang mengaku sebagai pemegang hak ulayat itu sudah selesai. Mereka bukanlah pemegang ulayat.Dan itu sudah disampaikan oleh para tokoh masyarakat Benihading Leupitu, Kedang kepada Pemkab dan DPRD Lembata,” tandas Boro, kepada Simpul Demokrasi NTT Online, di Lewoleba, Selasa (8/4).Menurut Boro, pernyataan Bupati Manuk yang mengklaim masalah tanah yang akan menjadi lokasi penambang sudah selesai sangat tidak beralasan.”Saya kira, seluruh masyarakat Lembata sudah tahu bahwa tanah itu masih bermasalah. Tuan tanah tidak mau menyerahkan tanahnya. Mereka yang menyerahkan tanah sedang dalam posisi terancam. Pak Bupati jangan menutup mata terhadap kenyataan adanya ancaman konflik di lapangan,” ujarnya, berharap.Sebagaimana diketahui, warga dari lima suku yang mengaku sebagai pemegang hak ulayat Tuamado, telah menyerahkan hamparan tanah yang menjadi titik utama lokasi pertambangan tembaga dan emas di Kabupaten Lembata.Lima suku pemegang hak tanah ulayat itu adalah Suku Potiretu, Leo Ara, pemegang hak ulayat Suku Lodo Lelang; Andreas Abe, Suku Tuamado, Benediktus Telu; Suku Lelangrian, Abdulah Benu; Suku Laa Wayang, Sadi Lari dan Suku Watang Walang, Kornelis Kopaq, kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, di Lembata, Jumat.Ia mengemukakan pandangan itu terkait masalah tanah ulayat yang menjadi lokasi utama rencana tambang tembaga dan emas di Lembata yang disuarakan berbagai komponen masyarakat daerah itu.“Soal lokasi yang dipersoalkan selama ini sudah tidak bermasalah. Sudah ada penyerahan secara sukarela dari para pemilik hak ulayat,” kata Bupati Manuk seperti dikutip LKBN Antara.Lokasi Wae Puhe dan Bean, menurut data-data penyidikan umum, data ilmiah yang dihasilkan foto satelit dan eksplorasi yang telah dilakukan, merupakan kawasan deposit emas dan tembaga terbesar di Pulau Lembata. Kandungan itu telah diketahui sejak zaman penjajahan Belanda.Kawasan Wae Puhe terletak di bagian barat dikenal dengan “gold ridge”, sedangkan kawasan Bean disebut “coper ridge” karena ditemukan bukit yang mengandung mineral tembaga.Bupati menambahkan, sudah ada kesepakatan pula antara pemilik hak ulayat, pemerintah daerah dan investor tentang memberian ganti rugi yang layak kepada para pemilik tanah.“Ada hak kepemilikan perorangan dalam lokasi maupun di sekitar tambang. Itu juga sudah dibicarakan mengenai pemberian ganti rugi yang layak sesuai dengan kesepakatan,” katanya.Tentang sikap warga, ia mengatakan para pemegang hak ulayat telah menyatakan sikap untuk berada dalam posisi netral, tidak ingin mempersoalkan kehadiran tambang tembaga di Lembata.Saat ini rencana investasi tambang di Lembata masih dalam tahapan awal dan belum sampai pada tahap eksploitasi. Karena itu, jika ada pandangan yang menyebutkan bahwa pemerintah telah menjual Lembata kepada investor adalah hal yang tidak benar, kata Bupati Lembata.Mengomentari pernyataan Bupati Manuk itu, koordinator KPRL mengaku prihatin. “Apa yang dikatakan Bupati Manuk merupakan tindakan yang patut disesalkan karena dapat memicu konflik di lapangan. Saya berharap agar pak Bupati tidak mengelak dari tanggungjawab jika benar-benar terjadi konflik karena pernyataannya itu,” tegasnya, mengingatkan.Dikatakan, segenap warga Benihading Leupitu telah menggelar Musyawarah Luar Biasa untuk membahas sikap oknum warga Tuamado. Mubes tersebut sekaligus meredam emosi warga untuk tidak bertindak anarkhis terhadap para oknum yang secara sepihak menyerahkan tanah kepada Pemkab Lembata. “Kabarnya ada warga Tuamado yang ketakutan dan terpaksa mengungsi dari Tuamado. Ini harus diantisipasi secara dini, dan Bupati jangan lagi perkeruh keadaan,” tandas Boro. (fre)
Kamis, 03 April 2008
KRONOLOGI KASUS PENYERAHAN TANAH OLEH 6 ORANG KEPALA SUKU DARI TUA MADO DESA PANAMA KECAMATAN BUYASURI
Anggota DPRD Lembata, Alwi Murin tengah berorasi.
Massa yang menghadiri musyawaraah luar biasa Benihading Leupitu.
Ketua FKTL, Bediona Philipus, SH, MA tengah berorasi.
Massa yang menghadiri musyawaraah luar biasa Benihading Leupitu.
Ketua FKTL, Bediona Philipus, SH, MA tengah berorasi.
Laporan: San Taum
1. Pada hari Kamis, tanggal 21 Februari 2008, di Lopo Moting Lomblen, Bupati menyelenggarakan acara penandatangan berita acara penyerahan tanah Wei Puhe, dari 6 Orang Kepala Suku Tua Mado, Kedang, Kecamatan Buyasuri, kepada dirinya sebagai Bupati Lembata, untuk kepentingan pembangunan industri pertambangan oleh PT Merukh Enterprise.
Berita acara penyerahan tanah tersebut ditanda-tangani oleh ke 6 kepala suku, sebagai pihak pertama, yang menyerahkan tanah, dan bupati Lembata, sebagai pihak ke dua, yang menerima penyerahan tanah. Ke-6 kepala suku tersebut adalah:
Ledo Ara, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Potiretu.
Anreas Abe, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lodo Laleng
Benediktus Telu, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Tuamado
Abdullah Beni, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lelangrian
Sadi Lari, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Laa Wayang
Kornelis Kopaq, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Watang Wala.
Ada dua pihak lain, yang ikut menanda-tangani Berita Acara Penyerahan Tanah Ulayat tersebut adalah pertama, pihak yang disebut sebagai “turut memberikan dukungan” dan Kedua, Saksi. Tercatat 6 orang turut memberikan dukungan, atas penyerahan tanah ulayat tersebut adalah:
· Lambertus Lawe : Ketua Basis Tuamado dalam Paroki Aliuroba.
· Naya Mudin : Imam Masjid Tuamado
· Yusuf Muda : Tokoh Masyarakat Tuamado
· Petrus Wutun : Tokoh Adat Tuamado
· Yosephat Sudarso Dolu : Tokoh Pemuda Tuamado
· Kristina Kewa : Tokoh Perempuan Tuamado
Sedangkan yang bertindak sebagai saksi adalah Camat Buyasuri dan 16 orang Kepala Desa, yakni:
· Muchtar Sarabiti : Camat Buyasuri
· Rachmat Wulakada : Kepala Desa Bean
· Ruslan Huraq : Kaur Umum Benihading II
· Gabriel P. Buyanaya : Kepala Desa Tubung Walang
· Petrus Lating : Kepala Desa Roho
· Yeremias Huraq : Kepala Desa Loyobohor
· Antonius Likuwatan : Kepala Desa Leuburi
· Abdullah Roda Mude : Kepala Desa Kaohua
· Paimudin Hibaratu : Kepala Desa Umaleu
· Ibrahim Lamawulo : Kepala Desa Tobotani
· Umar Ledo S Making : Kepala Desa Rumang
· Yusuf Paokuma : Kepala Desa Kalikur WL
· Yoseph Sumatantra : Kepala Desa Buriwutung
· Petrus Pua Ubawala : Kepala Desa Mampir
· Abdul Malik Peuohaq : Kepala Desa Leuwohung
· Hasan Liliweri : Kepala Desa Bareng
· Sulaiman Syarif : Kepala Desa Kalikur.
Dalam acara yang sama Gabriel Raha, lebih dikenal dengan nama Gaba Raha, salah seorang warga Peumole, Benihading II, Buyasuri, ikut membacakan pernyataan dukungan terhadap Kebijakan Tambang, dan kesediaan menyerahkan tanah sukunya, untuk dijadikan lokasi tambang. Bahkan apabila lokasi tersebut tidak terdapat kandungan emas atau tembaga, dapat dijadikan lokasi perkantoran, atau basecamp PT Merukh Enterprise.
Kejanggalan dalam Kasus Penyerahan Tanah Tuamado al:
· Penandatanganan Berita Acara Penyerahan Tanah dilakukan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen Lewoleba, oleh Bupati dan beberapa kepala suku, tetapi di dalam berita acara tertulis tanggal 13 Desember 2007 di Tuamado. Berdasarkan hasil investigasi FKTL, pada tanggal 13 Desember 2007, tidak terjadi peritiwa penyerahan tanah ulayat di Tuamado, yang dihadiri Bupati, dan para saksi, dan pendukung, sebagaimana tercantum di dalam lembaran berita acara. Dicurigai, penggunaan tanggal “mundur” tersebut, dengan sengaja dilakukan untuk menjaga keabsahan saksi, yang terdiri para Kepala Desa di Kecamatan Buyasuri, yang pada pada peristiwa penandatangan Berita Acara oleh Bupati, tanggal 21 Februari 2008, sebagian besar di antaranya telah berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh Kepala Desa yang baru terpilih. Itu berarti, penandatanganan berita acara oleh para saksi, telah dilakukan mendahului penandatangan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Berarti Camat dan ke 15 Kepala Desa, telah dengan sengaja membuat penipuan di dalam berita acara penyerahan tanah tersebut.
· Secara hukum, substansi penyerahan tanah tersebut mengandung kelemahan, karena tidak secara jelas mencantumkan obyek penyerahan tanah tersebut. Berita Acara tidak mencantumkan secara jelas di mana letak lokasi tanah yang diserahkan, berapa luasnya, batas-batasnya, di atasnya melekat hak apa dan siapa saja, dan berapa banyak orang yang sedang mengelola tanaha tersebut, dengan beragam hak yang mereka miliki (hak milik, hak garap, bagi hasil, dll). Hanya disebutkan dalam butir 1 Berita Acara: Hamparan Tanah Ulayat di titik tambang Wei Puhe dan sekitarnya. Itu berarti Pemerintah Kabupaten, yang terdiri dari Bupati sendiri, Camat Buyasuri, dan ke 15 Kepala Desa tersebut telah dengan gegabah terlibat di dalam suatu transaksi tanah, yang berisiko sosial tinggi. Dalam suasana masyarakat Kedang menolak rencana investasi tambang, yang diekspresikan secara tegas sekali di dalam bentuk demo damai (24-25 Juli 2007), dan polemik di Media Masa selama ini, Pemerintah Kabupaten Lembata, telah dengan sadar terlibat di dalam sebuah transaksi tanah, yang berisiko pada terjadinya konflik horisontal antar suku-suku di Kedang.
· Lebih fatal lagi, Pemerintah Kabupaten, terutama Camat Buyasuri dan Bupati sama sekali tidak mempertimbangkan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut. Mereka tidak mempertanyakan apakah ke 6 orang tersebut memang berwewenang atas tanah ulayat tersebut atau tidak. Karena penyerahan tanah oleh suku Tuamado tersebut ternyata kemudian, menimbulkan reaksi kegelisahan, kecemasan, kemarahan, keresahan, di tengah Masyarakat kampung-kampung di sekitar Tuamado, dari Hobamatan-Leu Hapu, Benihading Leu Pitu, Waq-Lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang. Reaksi tersebut berkembang karena berdasarkan realita dan bukti-bukti sejarah hak atas tanah suku-suku di Kedang, Tuamado, dengan ke 6 kepala suku tersebut, sama sekali tidak berkuasa atas tanah ulayat yang diserahkan. Mereka telah dengan berani sekali menyerahkan Tanah Ulayat yang bukan merupakan hak suku mereka, melainkan hak ulayat dari Komunitas Adat Benihading dan Nala Hading.
2. Tanggal 22 Februari 2008, Harian Flores Pos pada Desk Lembata, membuat berita dengan dngan judul, “Disesalkan Sikap Bupati Manuk, Dua Suku Serahkan Tanah untuk Tambang“. Alwi Murin, Anggota DPRD Asal Daerah Pemilihan Kedang, dari Benihading Leu Pitu, dari suku Etoehaq, menegaskan bahwa peristiwa penyerahan tanah tersebut patut dicurigai sebagai sebuah rekayasa oleh pihak tertentu yang mau memperdayai dan memprovokasi masyarakat Kedang. Ia ingatkan, bahwa penyerahan tersebut seolah-olah telah meniadakan keberadaan suku-suku lain di Benihading Leu Pitu, dan menegaskan sikap tersebut sangat membahayakan persatuan dan kesatuan masyarakat Kedang, kususnya di tanah ulayat Komunitas Adat Benihading Leu Pitu.
3. Tanggal 23 Februari 2008, menurunkan berita dengan topik, “Bupati Manuk harus bertanggung jawab”, berisi kecaman Stanis Kapo, tokoh Masyarakat Kedang, di Lewoleba, yang dengan tegas, menuntut pertanggung-jawaban Bupti, apabila kasus penyerahan tanah tersebut berakibat pada terjadi konflik antar suku, dan pertumpahan darah di Kedang. Eman Ubuq, Ketua Baraksatu, menegaskan peristiwa penyerahan tanah tersebut merupakan sebuah provokasi.
4. Peristiwa penyerahan tanah oleh ke enam orang Kepala Suku dari Tuamado, dan Gaba Raha dari Peumole tersebut, mengagetkan dan menggemparkan masyarakat Lembata, baik yang berada di Lewoleba sendiri, maupun masyarakat yang berbada di Kedang, setelah informasi tentang penyerahana tanah tersebut beredar ke tengah masyarakat. Reaksi bermunculan. Pada tanggal 24 Februari 2008, tercatat dua kejadian di 2 tempat berbeda.
· Di Peumole, pagi-pagi masyarakat berkumpul dalam suasana “panas” akibat mendengar berita penyerahan tanah pada tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen tersebut, melalui siaran Radio. Beberapa warga yang mendengar siaran berita tersebut meledak kemarahannya, dan memaki-maki. Kejadian itu mengundang perhatian warga tetangga, dan semakin lama semakin banyak warga yang berkumpul, untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka ingin “mengadili” Gaba Raha di rumahnya, tetapi beberapa tokoh masyarakat menenangkan dan mereka bersepakat mengirimkan Polikarpus Leuwayang dan seorang lagi untuk mendapatkan informasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Moting Lomblen, pada tanggal 21 Februari 2008 tersebut, di Lewoleba.
· Di Hobamatan, Desa Mahal I, desa tetangga Tuamado, yang masuk wilayah Kecamatan Omesuri, tua-tua Suku Odel mengadakan musyawarah adat, membahas dengan serius kasus penyerahan tanah di lokasi Wei Puhe tersebut, karena mereka mengetahui dengan pasti, tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari hak ulayat mereka Komunitas Adat Nalahading, dan sama sekali bukan merupakan hak ulayat dari ke 6 suku di Tuamado. Musyawarah adat Suku Odel memutuskan membatalkan penyerahan tanah tersebut. Keputusan membatalkan penyerahan tanah tersebut dituangkan ke dalam surat bernomor 01/SO/2008, tertanggal 24 Februari 2008, yang ditanda-tangani oleh Staphanus Mathur Odel, Kepala Suku, dan dua orangtua suku Odel lainnya, yakni Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel.
5. Pada tanggal 25 Februari 2008, 20 tokoh masyarakat Peumole berkumpul di rumah Bapak Edmundus Pala Lelangrian. Pertemuan mendengarkan laporan dari Polikarpus, yang bertugas mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerahan tanah. Karna Gaba Raha tidak hadir di dalam pertemuan itu, disepakati, perlu diselenggarakan pertemuan lagi, untuk meminta penjelasan dan pertanggung jawaban dari Gaba Raha.
6. Rabu, 27 Februari 2008, 2 orang utusan Suku Odel, yaitu Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel, datang ke Kantor Bupati dengan tujuan membatalkan penyerahan tanah ulayat mereka oleh ke 6 kepala suku Tuamado, dengan membawa surat pembatalan tersebut. Dengan alasan sedang sibuk Bupati menolak menerima mereka. Demikian juga Wakil Bupati. Wakil Bupati melalui pramutamu hanya menyuruh mereka menemui Kabag Ekonomi. Mereka menemui Kabag Ekonomi, Longginus Lega Ladoangin. Longgi menyatakan akan melanjutkan pernyataan sikap suku Odel tersebut kepada Bupati dan Wakil Bupati, dan meminta Kedua Utusan suku Odel untuk kembali ke kampung dan menunggu informasi lebih. Tetapi karena merasa tidak puas dengan perlakuan tersebut, mereka memutuskan untuk nginap untuk bertemu dengan Bupati pada hari berikutnya.
7. Kamis, 28 Februari 2008, Kedua utusan suku Odel, Leo dan Mikael Odel kembali mendatangi kantor Bupati. Tetapi mereka tidak berhasil menemui Bupati, karena Bupati dikatakan tidak berada di tempat. Ketika meminta bertemu Wakil Bupati, sekali lagi Wakil Bupati menolak untuk menemui mereka. Mereka kembali dengan perasaan sangat kecewa dan marah, karena merasa tidak dihargai.
8. Pada hari yang sama, Kamis, 28 Februari 2008, 3 Orang Penasehat Dewan Stasi Aliuroba, Paroki St. Maria Pembantu Abadi Aliuroba, yaitu Aloisius Rupa, Mikael Aba, dan Vinsensius Lewo, mendatangi Gaba Raha di rumahnya di Peumole, untuk mengklarifikasi berita penyerahan tanah oleh gaba Raha di Moting Lomblen, untuk lokasi tanah di sekitar Bean. Gaba Raha menjelaskan bahwa dia tidak menyerahkan hak ulayat, melainkan hanya menyatakan sikap netral, tidak pro dan tidak juga kontra tambang.
Ke 3 anggota Dewan Penasehat menawarkan kepada Gaba Raha untuk memberikan penjelasan kepada umat katolik di dalam gereja pada hari minggu, tanggal 2 Maret 2008, tetapi Gaba Raha menolaknya, karena merasa berat hati dan khawatir, dan meminta kesediaan Dewan Penasehat untuk menyampaikan penjelasan, bahwa Gaba Raha tidak pernah menyatakan dukungan terhdap kebijakan tambang atas nama Umat Katolik, sebagaimana informasi yang beredar di tengah masyarakat.
9. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00 Dewan Stasi Aliuroba dan 10 Ketua Basis Stadi Aliuroba mengadakan rapat, di ruang SDK Aliuroba. Rapat menyepakati memberhentikan Gaba Raha dari Jabatannya sebagai Ketua Dewan Stasi, yang bari dijabatnya selama 1 bulan, dan belum sempat juga dilantik.
10. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00-18.18 witeng, 5 suku dari Aliuroba, Desa Benihading I, menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus Penyerahan Tanah oleh 6 suku Tuamado. Ke 5 suku tersebut adalah: Suku Huung-ehaq, Eto-Ehaq, Beni-Ehaq, Wulakada, dan Peutula. Pertemuan dihadiri oleh ratusan warga suku yang berasal dari Benihading Leu Pitu. Pertemuan berlangsung di Ebang Suku Etoehaq di Aliuroba. Musyawarah adat tersebut mengecam dengan keras perbuatan ke 6 kepala suku tersebut, dan menyesalkan sikap Bupati Lembata, yang bertindak ceroboh, menerima penyerahan tanah ulayat, tanpa menyelidiki kebenaran dan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut, karena berimplikasi terhadap terjadinya keresahan, dan berpotensi menimbulkan konflik berdarah antar suku di Kedang.
Musyawarah ke 5 suku tersebut menyepakati:
· Membuat Surat Pernyataan Suku atas peristiwa penyerahan tanah tersebut, dan ditanda-tangani/dicap-jempol warga masing-masing suku.
· Mengutus 9 warga mewakili 5 suku, menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Bupati di Lewoleba.
11. Pada hari yang sama, minggu, 2 Maret 2008, sore, jam 15.00 berlangsung pertemuan warga Peumole di Rumah Gaba Raha. Pertemuan ini bertujuan meminta klarifikasi Gaba Raha. Andreas Leunamang, Kepala Suku “sulung”, mengecam perbuatan Gaba Raha sebagai tindakan sepihak. Dia mempertanyakan, mengapa pernyataan itu tidak didahului musyawarah adat di dalam kampung Peumole. Pertemuan berlangsung alot. Gaba Raha sengaja mengalihkan perhatian peserta, untuk hanya membahas soal ulayat. Pernyataan dukungan terhadap tambang dan penyerahan tanah oleh Gaba Raha, dengan tegas ditolak dan dinyatakan batal. Gaba Raha juga berjanji untuk membuat surat pernyataan penarikan kembali atas surat pernyataan dukungan terhadap tambang di Moting Lomblen tersebut.
12. Tanggal 2 Maret 2008, jam 11.30-14.00, di Leu Nahaq, Desa Panama, warga Leu Nahaq dan Waqio menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus penyerahan tanah oleh 6 suku dari Tuamado. Mereka menyepakati membuat pernyataan kecaman terhadap penyerahan tanah, dan meminta membatalkan penyerahan tanah Wei Puhe tersebut, dengan alasan ke 6 suku tersebut, tidak berhak atas tanah di Wei Puhe. Warga juga menyepakati untuk mengutus 3 orang warga menemui Bupati dan menyerahkan pernyataan tersebut. Ke 3 orang tersebut adalah: Anton Ado Lelangwayan, Anton Laba Ai dan Donatus Dato. Menurut rencana, ke 3 utusan tersebut akan menemui Bupati, pada hari Senin, 10 Maret 2008.
13. Senin, 3 Maret 2008 masing-masing ke 5 suku dari Aliuroba tersebut membuat surat pernyataan Kecaman dan penolakan terhadap penyerahan tanah tersebut, yang ditujukan kepada Bupati Lembata. Utusan ke 5 suku dari Aliuroba datang menyerahkan sendiri surat pernyataan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten. Utusan diterima Wakil Bupati Lembata, Senin, 3 Maret 2008, di ruang rapat Bupati. Wakil Bupati menerima penyerahan pernyataan sikap ke 5 suku tersebut, tanpa komentar. Hanya menyatakan “terima kasih”, dan “Pemerintah telah menerima pernyataan ini dengan ikhlas”. Wakil Bupati juga menolak tawaran untuk membuka dialog.
14. Selasa, 4 Maret 2008, bertempat di halaman depan Balai Desa Panama, Buyasuri, diselenggarakan Musyawarah Luar Biasa Masyarakat Adat Benihading Leu Pitu (Benihading 7 Kampung), Leu-Hapu (Mahal II), Hobamatan (Mahal I), Waq-Lupang (Atulaleng), Leu Tubung, Leu Walang (Tubung Walang), menanggapi keresahan dan kegelisahan masyarakat akibat penyerahan tanah yang dilakukan ke 6 kepala suku dari Tuamado dan Gaba Raha. Musyawarah dihadiri 600-an warga masyarakat, tua-muda, laki dan perempuan, berlangsung selama 8 jam, dari jam 11.15-19.15 witeng.
Substansi pembicaraan:
· Penjelasan tentang alasan mengapa musyawarah adat diselenggarakan
· Pembacaan Berita Acara Penyerahan Tanah 21 Februari 2008 di Moting Lomblen.
· Analisis Sosial, Politik, Hukum (Hukum Negara dan Hukum Adat: dari Stanis Kapo Lelangwayan, SH, Pius Kulu Beyeng, BA, Paulus Isa Leuweheq: para tokoh tua Kedang yang berdomisili di Lewoleba)
· Penuturan sejarah asal-usul tanah ulayat dari 3 tokoh adat, yakni Leonardus Leu Odel (Leu Hapu-Hobamatan), Lorensius Waka (Benihading Leu Pitu), dan Hendrik Tehe (Waq-Lupang), untuk menelusuri dan menegaskan hak-hak sejarah atas tanah ulayat di Wei Puhe dan sekitarnya. Sejarah suku dan tanah suku, yang terukir di dalam syair-syair adat Kedang, yang dituturkan oleh ke 3 orang tua ini, menegaskan Benihading-Nalahading yang memiliki kuasa atas tanah ulayat Wei Puhean sekitarnya , dan bukan ke 6 suku di Tuamado tersebut.
· Dialog tentang Kasus Penyerahan Tanah, Akibat hukum dari penyerahan tanah tersebut bagi masyarakat Kedang, & kaitannya dengan rencana investasi tambang.
· Musyawarah tentang jalan keluar dari persoalan penyerahan tanah serta implikasi hukum, politik dan sosial, bagi masyarakat. Meski suasana panas, tetapi para tua-tua adat berhasil meredahkan keresahan dan kemarahan massa, dan menuntun masyarakat menyepakati 17 butir Kesepakatan. (Lihat Lampiran berita acara)
15. Rabu, 5 Maret 2008, ke 12 tua adat, yang dipilih dalam musyawarah adat tanggal 4 Maret 2008, untuk menyelesaikan secara damai kasus penyerahan tanah, melalui mekanisme adat, sangat kecewa dengan sikap ke 6 kepala suku dari Tuamado, yang tidak menepati kesanggupan mereka untuk hadir di Balai Desa Panama, menyelesaikan Kasus tersebut, sesuai jani mereka pada 4 Maret 2008, kepada ke 3 utusan.
Setelah menunggu selama 3 jam, pada pukul 11.00 ke 12 tua adat memutuskan mengirimkan 3 utusan lagi untuk menemui dan memastikan kedatangan ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Ke 3 utusan tersebut adalah Thomas Toda Odel, Daswan Wulakada, dan Benediktus Beni Leuwayan.
Ke 3 utusan bertemu dengan Abdulah Beni, Benediktus Telu dan terakhir Kepala Dusun Tuamado, Aloysius Watang.
Abdulah Beni dalam dialog dengan ke 3 utusan membantah telah menyerahkan tanah ulayat di Moting Lomblen. Ketika diminta bukti berupa berita acara penyerahan tanah tersebut, Abdulah Beni, tidak bisa memberikannya, katanya ada di Kantor Bupati.
Ketika diminta untuk hadiri pertemuan musyawarah adat penyelesaian kasus, sebagaimana telah disepakati sehari sebelumnya, Abdulah Beni menolak untuk hadir. Dia beralasan jika lokasinya di Balai Desa Panama, situasi tidak aman bagi mereka. Benediktus Telu membungkam selama pertemuan dengan utusan tersebut. Sedangkan Kelapa Dusun Tuamado, Aloysius Watang, kembali menegaskan apa yang telah dikatakan oleh Abdulah Beni. Bahwa jika pertemuan di Balai Desa Panaman, situasinya tidak aman bagi mereka. Mereka menyatakan siap berhadapan dengan masyarakat Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang di kantor mana saja (maksudnya kantor Polisi, Pengadilan atau kantor pemerintah lainnya).
Ke 12 Tua Adat dan Warga yang hadir, merasa resah, kecewa dan menjadi berang terhadap sikap ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Tua adat kembali berupaya dan berhasil meredakan kemarahan warga Benihading Leu Pitu terhadap sikap ke 6 kelapa suku, yang tidak menepati kesepakatan sehari sebelumnya. Mereka merasa dipermainkan oleh sikap tersebut.
Musyawarah adat kemudian memutuskan:
· melanjutkan proses penyelesaian kasus tersebut melalui jalur hukum, dan untuk itu berangkat menuju Lewoleba, Kamis, 6 Maret 2008. Utusan ke Lewoleba terdiri dari 13 tua adat dari Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
· Menerbitkan Maklumat Pembatalan Penyerahan Tanah Ulayat Wei Puhe dan sekitarnya (Lihat lampiran), yang direncanakan akan diserahkan kepada Bupati Lembata, oleh 12 Tua Adat, dengan didampingi warga masyarakat dari 12 kampung di Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
16. Kamis, 6 Maret 2008, Tua-Tua Adat dari Benihading Leu Pitu, Leu Hapu-Hobamatan, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang sebanyak 13 orang, didampingi 2 anggota Baraksatu, berangkat menuju Lewoleba, untuk menempuh jalur hukum, memproses ke 6 kepala suku dari Tuamado.
Pada petang hari, jam 17.00-23.30, berlangsung musawarah para Tua adat, angota Baraksatu dengan Tokoh-tokoh masyarakat Kedang di Lewoleba, anggota FKTL, di Rumah kediaman Bpk Stanis Kapo Lelangwayan. Musyawarah menyepakati:
· Memproses secara hukum (pidana) ke 6 kepala suku ke Polres Lembata.
· Memberi Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan untuk mendampingi masyarakat di dalam proses hukum.
17. Juma`t, 7 Maret 2008, para tua adat menanda-tangani Surat Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan, sebagai pendamping hukum masyarakat adat Benihading-Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang..
Lewoleba, Jumat, 7 Maret 2008
Dibuat Bersama oleh:
Para Tua Adat:
· Hobamatan : Leonardus Leu Odel .................................
· Leu Hapu : Muhamad Amin Ea Pu`en ................................
· Leu Nahaq : Remigius Nuba ................................
: Benediktus Beni ..............................
· Waqio : Anton Ado Lelang Wayan .................................
· Wulakada : Yohanes Bubun Wulakada ...............................
· Aliuroba : Aloysius Rupa Etoehaq ................................
· Peumole : Andreas Leu Namang ...............................
· Leudawan Kobar : Lorens Waka Peuleu .............................
Barak Satu:
Ketua : Eman Ubuq ................................
Anggota : Johni Lelang Uneq ................................
Anggota : Theresia Peni Wulakada .................................
Anggota DPRD Lembata Daerah Pemilihan Kedang
Anggota : Aloysius U Uri Murin Etoehaq ..........................
Forum Komuikasi Tambang Lembata
Koordinator : Bediona Philipus ............................
Divisi Investigasi & Publikasi : Anton Pati Liman .............................
Berita acara penyerahan tanah tersebut ditanda-tangani oleh ke 6 kepala suku, sebagai pihak pertama, yang menyerahkan tanah, dan bupati Lembata, sebagai pihak ke dua, yang menerima penyerahan tanah. Ke-6 kepala suku tersebut adalah:
Ledo Ara, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Potiretu.
Anreas Abe, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lodo Laleng
Benediktus Telu, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Tuamado
Abdullah Beni, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lelangrian
Sadi Lari, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Laa Wayang
Kornelis Kopaq, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Watang Wala.
Ada dua pihak lain, yang ikut menanda-tangani Berita Acara Penyerahan Tanah Ulayat tersebut adalah pertama, pihak yang disebut sebagai “turut memberikan dukungan” dan Kedua, Saksi. Tercatat 6 orang turut memberikan dukungan, atas penyerahan tanah ulayat tersebut adalah:
· Lambertus Lawe : Ketua Basis Tuamado dalam Paroki Aliuroba.
· Naya Mudin : Imam Masjid Tuamado
· Yusuf Muda : Tokoh Masyarakat Tuamado
· Petrus Wutun : Tokoh Adat Tuamado
· Yosephat Sudarso Dolu : Tokoh Pemuda Tuamado
· Kristina Kewa : Tokoh Perempuan Tuamado
Sedangkan yang bertindak sebagai saksi adalah Camat Buyasuri dan 16 orang Kepala Desa, yakni:
· Muchtar Sarabiti : Camat Buyasuri
· Rachmat Wulakada : Kepala Desa Bean
· Ruslan Huraq : Kaur Umum Benihading II
· Gabriel P. Buyanaya : Kepala Desa Tubung Walang
· Petrus Lating : Kepala Desa Roho
· Yeremias Huraq : Kepala Desa Loyobohor
· Antonius Likuwatan : Kepala Desa Leuburi
· Abdullah Roda Mude : Kepala Desa Kaohua
· Paimudin Hibaratu : Kepala Desa Umaleu
· Ibrahim Lamawulo : Kepala Desa Tobotani
· Umar Ledo S Making : Kepala Desa Rumang
· Yusuf Paokuma : Kepala Desa Kalikur WL
· Yoseph Sumatantra : Kepala Desa Buriwutung
· Petrus Pua Ubawala : Kepala Desa Mampir
· Abdul Malik Peuohaq : Kepala Desa Leuwohung
· Hasan Liliweri : Kepala Desa Bareng
· Sulaiman Syarif : Kepala Desa Kalikur.
Dalam acara yang sama Gabriel Raha, lebih dikenal dengan nama Gaba Raha, salah seorang warga Peumole, Benihading II, Buyasuri, ikut membacakan pernyataan dukungan terhadap Kebijakan Tambang, dan kesediaan menyerahkan tanah sukunya, untuk dijadikan lokasi tambang. Bahkan apabila lokasi tersebut tidak terdapat kandungan emas atau tembaga, dapat dijadikan lokasi perkantoran, atau basecamp PT Merukh Enterprise.
Kejanggalan dalam Kasus Penyerahan Tanah Tuamado al:
· Penandatanganan Berita Acara Penyerahan Tanah dilakukan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen Lewoleba, oleh Bupati dan beberapa kepala suku, tetapi di dalam berita acara tertulis tanggal 13 Desember 2007 di Tuamado. Berdasarkan hasil investigasi FKTL, pada tanggal 13 Desember 2007, tidak terjadi peritiwa penyerahan tanah ulayat di Tuamado, yang dihadiri Bupati, dan para saksi, dan pendukung, sebagaimana tercantum di dalam lembaran berita acara. Dicurigai, penggunaan tanggal “mundur” tersebut, dengan sengaja dilakukan untuk menjaga keabsahan saksi, yang terdiri para Kepala Desa di Kecamatan Buyasuri, yang pada pada peristiwa penandatangan Berita Acara oleh Bupati, tanggal 21 Februari 2008, sebagian besar di antaranya telah berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh Kepala Desa yang baru terpilih. Itu berarti, penandatanganan berita acara oleh para saksi, telah dilakukan mendahului penandatangan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Berarti Camat dan ke 15 Kepala Desa, telah dengan sengaja membuat penipuan di dalam berita acara penyerahan tanah tersebut.
· Secara hukum, substansi penyerahan tanah tersebut mengandung kelemahan, karena tidak secara jelas mencantumkan obyek penyerahan tanah tersebut. Berita Acara tidak mencantumkan secara jelas di mana letak lokasi tanah yang diserahkan, berapa luasnya, batas-batasnya, di atasnya melekat hak apa dan siapa saja, dan berapa banyak orang yang sedang mengelola tanaha tersebut, dengan beragam hak yang mereka miliki (hak milik, hak garap, bagi hasil, dll). Hanya disebutkan dalam butir 1 Berita Acara: Hamparan Tanah Ulayat di titik tambang Wei Puhe dan sekitarnya. Itu berarti Pemerintah Kabupaten, yang terdiri dari Bupati sendiri, Camat Buyasuri, dan ke 15 Kepala Desa tersebut telah dengan gegabah terlibat di dalam suatu transaksi tanah, yang berisiko sosial tinggi. Dalam suasana masyarakat Kedang menolak rencana investasi tambang, yang diekspresikan secara tegas sekali di dalam bentuk demo damai (24-25 Juli 2007), dan polemik di Media Masa selama ini, Pemerintah Kabupaten Lembata, telah dengan sadar terlibat di dalam sebuah transaksi tanah, yang berisiko pada terjadinya konflik horisontal antar suku-suku di Kedang.
· Lebih fatal lagi, Pemerintah Kabupaten, terutama Camat Buyasuri dan Bupati sama sekali tidak mempertimbangkan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut. Mereka tidak mempertanyakan apakah ke 6 orang tersebut memang berwewenang atas tanah ulayat tersebut atau tidak. Karena penyerahan tanah oleh suku Tuamado tersebut ternyata kemudian, menimbulkan reaksi kegelisahan, kecemasan, kemarahan, keresahan, di tengah Masyarakat kampung-kampung di sekitar Tuamado, dari Hobamatan-Leu Hapu, Benihading Leu Pitu, Waq-Lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang. Reaksi tersebut berkembang karena berdasarkan realita dan bukti-bukti sejarah hak atas tanah suku-suku di Kedang, Tuamado, dengan ke 6 kepala suku tersebut, sama sekali tidak berkuasa atas tanah ulayat yang diserahkan. Mereka telah dengan berani sekali menyerahkan Tanah Ulayat yang bukan merupakan hak suku mereka, melainkan hak ulayat dari Komunitas Adat Benihading dan Nala Hading.
2. Tanggal 22 Februari 2008, Harian Flores Pos pada Desk Lembata, membuat berita dengan dngan judul, “Disesalkan Sikap Bupati Manuk, Dua Suku Serahkan Tanah untuk Tambang“. Alwi Murin, Anggota DPRD Asal Daerah Pemilihan Kedang, dari Benihading Leu Pitu, dari suku Etoehaq, menegaskan bahwa peristiwa penyerahan tanah tersebut patut dicurigai sebagai sebuah rekayasa oleh pihak tertentu yang mau memperdayai dan memprovokasi masyarakat Kedang. Ia ingatkan, bahwa penyerahan tersebut seolah-olah telah meniadakan keberadaan suku-suku lain di Benihading Leu Pitu, dan menegaskan sikap tersebut sangat membahayakan persatuan dan kesatuan masyarakat Kedang, kususnya di tanah ulayat Komunitas Adat Benihading Leu Pitu.
3. Tanggal 23 Februari 2008, menurunkan berita dengan topik, “Bupati Manuk harus bertanggung jawab”, berisi kecaman Stanis Kapo, tokoh Masyarakat Kedang, di Lewoleba, yang dengan tegas, menuntut pertanggung-jawaban Bupti, apabila kasus penyerahan tanah tersebut berakibat pada terjadi konflik antar suku, dan pertumpahan darah di Kedang. Eman Ubuq, Ketua Baraksatu, menegaskan peristiwa penyerahan tanah tersebut merupakan sebuah provokasi.
4. Peristiwa penyerahan tanah oleh ke enam orang Kepala Suku dari Tuamado, dan Gaba Raha dari Peumole tersebut, mengagetkan dan menggemparkan masyarakat Lembata, baik yang berada di Lewoleba sendiri, maupun masyarakat yang berbada di Kedang, setelah informasi tentang penyerahana tanah tersebut beredar ke tengah masyarakat. Reaksi bermunculan. Pada tanggal 24 Februari 2008, tercatat dua kejadian di 2 tempat berbeda.
· Di Peumole, pagi-pagi masyarakat berkumpul dalam suasana “panas” akibat mendengar berita penyerahan tanah pada tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen tersebut, melalui siaran Radio. Beberapa warga yang mendengar siaran berita tersebut meledak kemarahannya, dan memaki-maki. Kejadian itu mengundang perhatian warga tetangga, dan semakin lama semakin banyak warga yang berkumpul, untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka ingin “mengadili” Gaba Raha di rumahnya, tetapi beberapa tokoh masyarakat menenangkan dan mereka bersepakat mengirimkan Polikarpus Leuwayang dan seorang lagi untuk mendapatkan informasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Moting Lomblen, pada tanggal 21 Februari 2008 tersebut, di Lewoleba.
· Di Hobamatan, Desa Mahal I, desa tetangga Tuamado, yang masuk wilayah Kecamatan Omesuri, tua-tua Suku Odel mengadakan musyawarah adat, membahas dengan serius kasus penyerahan tanah di lokasi Wei Puhe tersebut, karena mereka mengetahui dengan pasti, tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari hak ulayat mereka Komunitas Adat Nalahading, dan sama sekali bukan merupakan hak ulayat dari ke 6 suku di Tuamado. Musyawarah adat Suku Odel memutuskan membatalkan penyerahan tanah tersebut. Keputusan membatalkan penyerahan tanah tersebut dituangkan ke dalam surat bernomor 01/SO/2008, tertanggal 24 Februari 2008, yang ditanda-tangani oleh Staphanus Mathur Odel, Kepala Suku, dan dua orangtua suku Odel lainnya, yakni Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel.
5. Pada tanggal 25 Februari 2008, 20 tokoh masyarakat Peumole berkumpul di rumah Bapak Edmundus Pala Lelangrian. Pertemuan mendengarkan laporan dari Polikarpus, yang bertugas mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerahan tanah. Karna Gaba Raha tidak hadir di dalam pertemuan itu, disepakati, perlu diselenggarakan pertemuan lagi, untuk meminta penjelasan dan pertanggung jawaban dari Gaba Raha.
6. Rabu, 27 Februari 2008, 2 orang utusan Suku Odel, yaitu Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel, datang ke Kantor Bupati dengan tujuan membatalkan penyerahan tanah ulayat mereka oleh ke 6 kepala suku Tuamado, dengan membawa surat pembatalan tersebut. Dengan alasan sedang sibuk Bupati menolak menerima mereka. Demikian juga Wakil Bupati. Wakil Bupati melalui pramutamu hanya menyuruh mereka menemui Kabag Ekonomi. Mereka menemui Kabag Ekonomi, Longginus Lega Ladoangin. Longgi menyatakan akan melanjutkan pernyataan sikap suku Odel tersebut kepada Bupati dan Wakil Bupati, dan meminta Kedua Utusan suku Odel untuk kembali ke kampung dan menunggu informasi lebih. Tetapi karena merasa tidak puas dengan perlakuan tersebut, mereka memutuskan untuk nginap untuk bertemu dengan Bupati pada hari berikutnya.
7. Kamis, 28 Februari 2008, Kedua utusan suku Odel, Leo dan Mikael Odel kembali mendatangi kantor Bupati. Tetapi mereka tidak berhasil menemui Bupati, karena Bupati dikatakan tidak berada di tempat. Ketika meminta bertemu Wakil Bupati, sekali lagi Wakil Bupati menolak untuk menemui mereka. Mereka kembali dengan perasaan sangat kecewa dan marah, karena merasa tidak dihargai.
8. Pada hari yang sama, Kamis, 28 Februari 2008, 3 Orang Penasehat Dewan Stasi Aliuroba, Paroki St. Maria Pembantu Abadi Aliuroba, yaitu Aloisius Rupa, Mikael Aba, dan Vinsensius Lewo, mendatangi Gaba Raha di rumahnya di Peumole, untuk mengklarifikasi berita penyerahan tanah oleh gaba Raha di Moting Lomblen, untuk lokasi tanah di sekitar Bean. Gaba Raha menjelaskan bahwa dia tidak menyerahkan hak ulayat, melainkan hanya menyatakan sikap netral, tidak pro dan tidak juga kontra tambang.
Ke 3 anggota Dewan Penasehat menawarkan kepada Gaba Raha untuk memberikan penjelasan kepada umat katolik di dalam gereja pada hari minggu, tanggal 2 Maret 2008, tetapi Gaba Raha menolaknya, karena merasa berat hati dan khawatir, dan meminta kesediaan Dewan Penasehat untuk menyampaikan penjelasan, bahwa Gaba Raha tidak pernah menyatakan dukungan terhdap kebijakan tambang atas nama Umat Katolik, sebagaimana informasi yang beredar di tengah masyarakat.
9. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00 Dewan Stasi Aliuroba dan 10 Ketua Basis Stadi Aliuroba mengadakan rapat, di ruang SDK Aliuroba. Rapat menyepakati memberhentikan Gaba Raha dari Jabatannya sebagai Ketua Dewan Stasi, yang bari dijabatnya selama 1 bulan, dan belum sempat juga dilantik.
10. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00-18.18 witeng, 5 suku dari Aliuroba, Desa Benihading I, menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus Penyerahan Tanah oleh 6 suku Tuamado. Ke 5 suku tersebut adalah: Suku Huung-ehaq, Eto-Ehaq, Beni-Ehaq, Wulakada, dan Peutula. Pertemuan dihadiri oleh ratusan warga suku yang berasal dari Benihading Leu Pitu. Pertemuan berlangsung di Ebang Suku Etoehaq di Aliuroba. Musyawarah adat tersebut mengecam dengan keras perbuatan ke 6 kepala suku tersebut, dan menyesalkan sikap Bupati Lembata, yang bertindak ceroboh, menerima penyerahan tanah ulayat, tanpa menyelidiki kebenaran dan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut, karena berimplikasi terhadap terjadinya keresahan, dan berpotensi menimbulkan konflik berdarah antar suku di Kedang.
Musyawarah ke 5 suku tersebut menyepakati:
· Membuat Surat Pernyataan Suku atas peristiwa penyerahan tanah tersebut, dan ditanda-tangani/dicap-jempol warga masing-masing suku.
· Mengutus 9 warga mewakili 5 suku, menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Bupati di Lewoleba.
11. Pada hari yang sama, minggu, 2 Maret 2008, sore, jam 15.00 berlangsung pertemuan warga Peumole di Rumah Gaba Raha. Pertemuan ini bertujuan meminta klarifikasi Gaba Raha. Andreas Leunamang, Kepala Suku “sulung”, mengecam perbuatan Gaba Raha sebagai tindakan sepihak. Dia mempertanyakan, mengapa pernyataan itu tidak didahului musyawarah adat di dalam kampung Peumole. Pertemuan berlangsung alot. Gaba Raha sengaja mengalihkan perhatian peserta, untuk hanya membahas soal ulayat. Pernyataan dukungan terhadap tambang dan penyerahan tanah oleh Gaba Raha, dengan tegas ditolak dan dinyatakan batal. Gaba Raha juga berjanji untuk membuat surat pernyataan penarikan kembali atas surat pernyataan dukungan terhadap tambang di Moting Lomblen tersebut.
12. Tanggal 2 Maret 2008, jam 11.30-14.00, di Leu Nahaq, Desa Panama, warga Leu Nahaq dan Waqio menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus penyerahan tanah oleh 6 suku dari Tuamado. Mereka menyepakati membuat pernyataan kecaman terhadap penyerahan tanah, dan meminta membatalkan penyerahan tanah Wei Puhe tersebut, dengan alasan ke 6 suku tersebut, tidak berhak atas tanah di Wei Puhe. Warga juga menyepakati untuk mengutus 3 orang warga menemui Bupati dan menyerahkan pernyataan tersebut. Ke 3 orang tersebut adalah: Anton Ado Lelangwayan, Anton Laba Ai dan Donatus Dato. Menurut rencana, ke 3 utusan tersebut akan menemui Bupati, pada hari Senin, 10 Maret 2008.
13. Senin, 3 Maret 2008 masing-masing ke 5 suku dari Aliuroba tersebut membuat surat pernyataan Kecaman dan penolakan terhadap penyerahan tanah tersebut, yang ditujukan kepada Bupati Lembata. Utusan ke 5 suku dari Aliuroba datang menyerahkan sendiri surat pernyataan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten. Utusan diterima Wakil Bupati Lembata, Senin, 3 Maret 2008, di ruang rapat Bupati. Wakil Bupati menerima penyerahan pernyataan sikap ke 5 suku tersebut, tanpa komentar. Hanya menyatakan “terima kasih”, dan “Pemerintah telah menerima pernyataan ini dengan ikhlas”. Wakil Bupati juga menolak tawaran untuk membuka dialog.
14. Selasa, 4 Maret 2008, bertempat di halaman depan Balai Desa Panama, Buyasuri, diselenggarakan Musyawarah Luar Biasa Masyarakat Adat Benihading Leu Pitu (Benihading 7 Kampung), Leu-Hapu (Mahal II), Hobamatan (Mahal I), Waq-Lupang (Atulaleng), Leu Tubung, Leu Walang (Tubung Walang), menanggapi keresahan dan kegelisahan masyarakat akibat penyerahan tanah yang dilakukan ke 6 kepala suku dari Tuamado dan Gaba Raha. Musyawarah dihadiri 600-an warga masyarakat, tua-muda, laki dan perempuan, berlangsung selama 8 jam, dari jam 11.15-19.15 witeng.
Substansi pembicaraan:
· Penjelasan tentang alasan mengapa musyawarah adat diselenggarakan
· Pembacaan Berita Acara Penyerahan Tanah 21 Februari 2008 di Moting Lomblen.
· Analisis Sosial, Politik, Hukum (Hukum Negara dan Hukum Adat: dari Stanis Kapo Lelangwayan, SH, Pius Kulu Beyeng, BA, Paulus Isa Leuweheq: para tokoh tua Kedang yang berdomisili di Lewoleba)
· Penuturan sejarah asal-usul tanah ulayat dari 3 tokoh adat, yakni Leonardus Leu Odel (Leu Hapu-Hobamatan), Lorensius Waka (Benihading Leu Pitu), dan Hendrik Tehe (Waq-Lupang), untuk menelusuri dan menegaskan hak-hak sejarah atas tanah ulayat di Wei Puhe dan sekitarnya. Sejarah suku dan tanah suku, yang terukir di dalam syair-syair adat Kedang, yang dituturkan oleh ke 3 orang tua ini, menegaskan Benihading-Nalahading yang memiliki kuasa atas tanah ulayat Wei Puhean sekitarnya , dan bukan ke 6 suku di Tuamado tersebut.
· Dialog tentang Kasus Penyerahan Tanah, Akibat hukum dari penyerahan tanah tersebut bagi masyarakat Kedang, & kaitannya dengan rencana investasi tambang.
· Musyawarah tentang jalan keluar dari persoalan penyerahan tanah serta implikasi hukum, politik dan sosial, bagi masyarakat. Meski suasana panas, tetapi para tua-tua adat berhasil meredahkan keresahan dan kemarahan massa, dan menuntun masyarakat menyepakati 17 butir Kesepakatan. (Lihat Lampiran berita acara)
15. Rabu, 5 Maret 2008, ke 12 tua adat, yang dipilih dalam musyawarah adat tanggal 4 Maret 2008, untuk menyelesaikan secara damai kasus penyerahan tanah, melalui mekanisme adat, sangat kecewa dengan sikap ke 6 kepala suku dari Tuamado, yang tidak menepati kesanggupan mereka untuk hadir di Balai Desa Panama, menyelesaikan Kasus tersebut, sesuai jani mereka pada 4 Maret 2008, kepada ke 3 utusan.
Setelah menunggu selama 3 jam, pada pukul 11.00 ke 12 tua adat memutuskan mengirimkan 3 utusan lagi untuk menemui dan memastikan kedatangan ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Ke 3 utusan tersebut adalah Thomas Toda Odel, Daswan Wulakada, dan Benediktus Beni Leuwayan.
Ke 3 utusan bertemu dengan Abdulah Beni, Benediktus Telu dan terakhir Kepala Dusun Tuamado, Aloysius Watang.
Abdulah Beni dalam dialog dengan ke 3 utusan membantah telah menyerahkan tanah ulayat di Moting Lomblen. Ketika diminta bukti berupa berita acara penyerahan tanah tersebut, Abdulah Beni, tidak bisa memberikannya, katanya ada di Kantor Bupati.
Ketika diminta untuk hadiri pertemuan musyawarah adat penyelesaian kasus, sebagaimana telah disepakati sehari sebelumnya, Abdulah Beni menolak untuk hadir. Dia beralasan jika lokasinya di Balai Desa Panama, situasi tidak aman bagi mereka. Benediktus Telu membungkam selama pertemuan dengan utusan tersebut. Sedangkan Kelapa Dusun Tuamado, Aloysius Watang, kembali menegaskan apa yang telah dikatakan oleh Abdulah Beni. Bahwa jika pertemuan di Balai Desa Panaman, situasinya tidak aman bagi mereka. Mereka menyatakan siap berhadapan dengan masyarakat Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang di kantor mana saja (maksudnya kantor Polisi, Pengadilan atau kantor pemerintah lainnya).
Ke 12 Tua Adat dan Warga yang hadir, merasa resah, kecewa dan menjadi berang terhadap sikap ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Tua adat kembali berupaya dan berhasil meredakan kemarahan warga Benihading Leu Pitu terhadap sikap ke 6 kelapa suku, yang tidak menepati kesepakatan sehari sebelumnya. Mereka merasa dipermainkan oleh sikap tersebut.
Musyawarah adat kemudian memutuskan:
· melanjutkan proses penyelesaian kasus tersebut melalui jalur hukum, dan untuk itu berangkat menuju Lewoleba, Kamis, 6 Maret 2008. Utusan ke Lewoleba terdiri dari 13 tua adat dari Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
· Menerbitkan Maklumat Pembatalan Penyerahan Tanah Ulayat Wei Puhe dan sekitarnya (Lihat lampiran), yang direncanakan akan diserahkan kepada Bupati Lembata, oleh 12 Tua Adat, dengan didampingi warga masyarakat dari 12 kampung di Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
16. Kamis, 6 Maret 2008, Tua-Tua Adat dari Benihading Leu Pitu, Leu Hapu-Hobamatan, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang sebanyak 13 orang, didampingi 2 anggota Baraksatu, berangkat menuju Lewoleba, untuk menempuh jalur hukum, memproses ke 6 kepala suku dari Tuamado.
Pada petang hari, jam 17.00-23.30, berlangsung musawarah para Tua adat, angota Baraksatu dengan Tokoh-tokoh masyarakat Kedang di Lewoleba, anggota FKTL, di Rumah kediaman Bpk Stanis Kapo Lelangwayan. Musyawarah menyepakati:
· Memproses secara hukum (pidana) ke 6 kepala suku ke Polres Lembata.
· Memberi Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan untuk mendampingi masyarakat di dalam proses hukum.
17. Juma`t, 7 Maret 2008, para tua adat menanda-tangani Surat Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan, sebagai pendamping hukum masyarakat adat Benihading-Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang..
Lewoleba, Jumat, 7 Maret 2008
Dibuat Bersama oleh:
Para Tua Adat:
· Hobamatan : Leonardus Leu Odel .................................
· Leu Hapu : Muhamad Amin Ea Pu`en ................................
· Leu Nahaq : Remigius Nuba ................................
: Benediktus Beni ..............................
· Waqio : Anton Ado Lelang Wayan .................................
· Wulakada : Yohanes Bubun Wulakada ...............................
· Aliuroba : Aloysius Rupa Etoehaq ................................
· Peumole : Andreas Leu Namang ...............................
· Leudawan Kobar : Lorens Waka Peuleu .............................
Barak Satu:
Ketua : Eman Ubuq ................................
Anggota : Johni Lelang Uneq ................................
Anggota : Theresia Peni Wulakada .................................
Anggota DPRD Lembata Daerah Pemilihan Kedang
Anggota : Aloysius U Uri Murin Etoehaq ..........................
Forum Komuikasi Tambang Lembata
Koordinator : Bediona Philipus ............................
Divisi Investigasi & Publikasi : Anton Pati Liman .............................
Langganan:
Postingan (Atom)