Jumat, 22 Februari 2008

Komunitas Adat Lewohala “Duduki” DPRD Lembata

* Bupati Diduga Menghindar, Ruang DPRD Kosong

Laporan: Elias Keluli Making

Praktek politik masa lalu yang acapkali top dow (dari atas) sudah tidak jamannya lagi. Masyarakat bersikeras menolak keputusan yang dianggap mengganggu keutuhan komitas adat. Jika Leragere dan Kedang menolak kebijakan soal rencana investasi tambang, kini giliran komunitas adat Lewohala, kecamatan Ile Ape menolak keputusan soal pembentukan Kecamatan Ile Ape Timur. Terus?

Masyarakat adat Lewohala yang terhimpun dalam Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, Kamis (31/1/2008) memadati ruang lobi Kantor Bupati Lembata. Sebelumnya, mereka sudah menyurati Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk. Tapi, apa lacur? Mereka harus menelan kecewa. Pasalnya, Bupati Manuk sedang berada di luar daerah.

Ya, “Kami tidak dapat bertemu dengan Bupati Lembata. Padahal, tiga hari sebelumnya Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang sudah mengirim surat kepada Bupati Lembata dan DPRD menyampaikan niatan masyarakat untuk beraudiens dengan Bupati dan DPRD terkait Pemekaran Kecamatan Ile Ape yang telah ditetapkan melaui Perda Kabupaten Lembata nomor 18 tahun 2007 itu,” jelas juru bicara Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, Paulus Kupang, SH kepada pers di lobi Kantor Bupati.

Dia menjelaskan bahwa masyarakat yang datang adalah utusan yang mewakili tujuh desa dalam wilayah adat Lewohala. Yakni, Desa Petuntawa, Kolontobo, Laranwutun, Muruona, Watodiri, Todanara dan Jontona.

Paulus menduga ada unsur kesengajaan dari Bupati Manuk untuk menghindari pertemuan dengan komunitas adat Lewohala. Ya, “Mungkin saja bupati sengaja menghindar, karena kami sebelumnya sudah mengirim surat untuk menyampaikan maksud untuk bertemu dengan Bupati,” ujarnya, kesal.

Jika bukan kesengajaan, sambung Paulus, mestinya bupati sudah memberikan rekomendasi kepada salah seorang pejabat di lingkup Setda Kabupaten Lembata untuk menerima kedatangan rombongan masyarakat adat Lewohala. “Tapi kenyataannya tidak ada,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa dirinya sudah menemui Asisten I bidang pemerintahan Setda Lembata, Drs. Stanis Nunang, dan memintanya untuk mewakili pemerintah Kabupaten Lembata menerima surat pernyataan dari masyarakat adat Lewohala. “Namun jawabannya sangat mengecewakan kami. Katanya, dirinya tidak diberikan wewenang oleh bupati untuk menerima surat pernyataan masyarakat,” tandas Paulus, prihatin.

Ke DPRD

Tak diterima seorangpun pejabat pemerintah, para wakil masyarakat adat Lewohala menuju ke Gedung DPRD Lembata, yang terletak bersebelahan dengan kantor Bupati Lembata. Sayangnya, mereka kembali dibuat kecewa. Pasalnya, tak satupun anggota Dewan yang berhasil ditemui. Ruang sidang gedung Peten Ina tak berpenghuni kecuali pegawai sekretariat Dewan.

Dari para staf Sekretariat Dewan diperoleh informasi bahwa para wakil rakyat terhormat sedang “turun ke bawah” alias turba sampai Sabtu (9/2/2008). Wakil rakyat akan kembali lagi berkantor pada Senin (11/2/2008). Tak ayal lagi, Ketua Forum Peduli Budaya Wuring Ebang, Stefanus Anton Making alias Lodan naik pitam. Dia langsung memanggil semua anggotanya untuk berkumpul di ruang sidang DRRD Lembata. “Anggota DPRD terhormat semua tidak berada di tempat. Jadi sekarang kita sebagai masyarakat yang memilih mereka, masuk dan bersidang ini rumah kita,” tandasnya dengan kesal.

Lodan pun melangkah menuju meja pimpinan sidang, didampingi dua orang anggota forum. Dia langsung duduk di kursi yang biasa diduduki ketua DPRD Lembata, Drs. Petrus Boliona Keraf ketika memimpin sidang Dewan. Yang menarik, dua pendampingnya mengambil posisi duduk di kiri kanan meja pimpinan sidang.

Dari meja pimpinan sidang, Lodan berkata, “Ini sebuah rekayasa. Bagaimana mungkin rumah rakyat ditinggal kosong tak berpenghuni. Kalaupun turba, mestinya ada salah seorang pimpinan yang tinggal.”

Kejadian ini tidak berlangsung lama. Utusan masyarakat Lewohala, kemudian keluar ruangan dengan wajah memendam kesal.

Saat di ruang lobi gedung DPRD Lembata, Paulus Kopong langsung menemui wartawan. “Walaupun DPRD sedang menjalan tugas diluar tetapi rumah rakyat ini tidak boleh dibiarkan kosong. Ini adalah cambuk bagi wakil rakyat terhormat. Kami melakukan ini karena kami merasa tidak dihargai oleh DRPD dan Pemerintah,” tandasnya.

Alhasil, surat pernyataan yang dibawa untuk diserahkan kepada Pemkab dan DPRD Lembata tidak berhasil diserahkan langsung ke tangan Bupati dan Ketua DPRD Lembata. Mereka bersikukuh menolak Perda 18 Tahun 2007. (*)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

maju terus lembata...