Oleh: Fredy Wahon
“Pagi pejuangku! Kami bangga punya engkau. Selamat ya! Teguhlah pada janjimu pada rakyat! Sayang selalu dari mama dan anak-anak.”
SAYA tertegun membaca deretan kata-kata di “samsung”ku yang mulai usang dimakan usia. Maklum, pesan singkat itu datang tepat pada saat saya memutuskan untuk mencurahkan perhatian dan mengayun langkah di rimba raya politik. Sehingga pesan dari perempuan yang dalam kurun waktu satu dekade ini menjadi teman hidup saya, tentu saja, menjadi kekuatan mahadhasyat bagi langkah perjuangan. Untuk apa?
Ziarah hidup memang tidak pasti. Eyang Soeharto yang di masa mudanya tampak gagah berani memimpin pasukan perang, akhirnya harus membujur lemas di Rumah Sakit Pusat Pertamina sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya terakhir. Kekayaan yang dikumpulkan –yang diduga sebagai hasil korupsi—selama 32 tahun memerintah, tak satupun yang dibawa ke liang lahat kecuali kain kafan. Tapi, berita kematiannya sungguh menyita pemberitaan seluruh media massa, terutama televisi dalam negeri. Beberapa rekan saya yang pernah satu atap di Jalan Sam Ratulangie No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, menyempatkan diri untuk melayat ke rumah duka Eyang Sepuh di Jalan Cendana Nomor 8, tempat jenazah sang otoriter itu disemayamkan, tak jauh dari “markas pergerakan” kami tahun 1998 silam.
“Apakah ini harus disyukuri atau dimaafkan dan didoakan keselamatannya?” Itulah pesan singkat yang datang dari rumah duka. Tentu saja, dari seorang sahabat yang bersama-sama bergulat dengan teriknya matahari, dan ancaman senapan di tahun 1998. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Saya cuma merenungkan kembali perjalanan hidup Eyang Sepuh dari masa mudanya hingga akhirnya wafat. Perjalanan hidup seorang pejuang yang akhirnya menjadi politisi yang sungguh otoriter.
Saya sendiri hanya satu kali berjabat tangan dengan Eyang Sepuh, ketika kebetulan saya berdiri disamping Uskup Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB dalam menerima rombongan Pak Harto untuk meresmikan sejumlah proyek nasional di Timor Timur, dan sekaligus meresmikan patung Kristus Raja di bukit Fatucama, Dili, Timor Leste. Telapak tangan Eyang Sepuh sungguh lembut, seolah tak pernah memegang benda keras. Wajahnya pun ramah, bersahabat. Tapi, siapa yang menyangka, kalau dari tangan itu pula tanda tangannya melahirkan sejumlah keputusan yang ademokratis. Keputusan yang bahkan tak sedikit melahirkan duka derita anak bangsa.
Pembantaian terbesar semasa pemerintahannya adalah pembunuhan aktifis Partai Katolik Indonesia (PKI) beserta antek-anteknya, setelah partai politik pemenang pemilu itu dinyatakan sebagai partai terlarang, tahun 1965. Dalam buku “PALU ARIT di Ladang Tebu”, sejarahwan Hermawan Sulistyo melukiskan bagaimana orang-orang PKI dihabisi. Diperkirakan sekitar 78.000 – 500.000 orang dibantai dalam kurun waktu 1965-1966.
Pak Harto benar-benar kejam. Lawan-lawannya disingkirkan. Sang pejuang yang jadi politisi kelas dunia itu, berubah jadi sangat otoriter. Ada tiga kelompok pendukungnya, yakni ABRI (sekarang TNI dan Polri), Golkar dan Birokrasi. Tiga kekuatan ini sangat dikuasai Pak Harto. Tak ada gubernur yang tak tanpa restu cendana. Semuanya menjadi sangat terpusat. Sentralistik.
Nah, politik memang selalu menggoda untuk berkuasa. Dan, kata Lord Action, kekuasaan cendrung korup. Kekuasaan yang terlampau lama hanya akan mengubah sosok seorang pemimpin menjadi koruptor besar. Nafsu besar untuk membangun, bisa hancur oleh nafsu orang-orang di pusaran kekuasaan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Maka, berhati-hatilah mereka yang hendak akan ikut bertarung dalam Pilkada Gubernur atau Bupati di sejumlah daerah di NTT, tahun ini.
Ketika sedang asyik membangun diskusi dengan kelompok tani hutan di Lereng Labalekang, Pulau Lembata, saya kembali menerima pesan singkat dari perempuan yang telah melahirkan anak-anakku.
“Saya sudah habiskan buku Soe Hok Gie. Saya kurang hati karena dia mengaku atheis. Tapi, saya jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah saya temui ini. Mengagumi kecerdasannya, keberaniannya, keteguhannya, perjuangannya membela yang benar. Juga, kecintaannya pada alam. Saya tergila-gila pada ‘kegilaannya’ memandang hidup. Lalu, pada hujan setengah lebat sore ini, saya membatin: TUHAN, saya mau melahirkan seorang Soe Hok Gie, sang demonstran.”
Sungguh, saya tak menyangka kalau ngidam buku Soe Hok Gie, telah membuat istri saya tergila-gila pada demonstran yang meninggal di usia muda itu. Tapi, kepadanya saya mengingatkan bahwa pejuang tak selalu bisa menikmati hasil perjuangannya, persis seperti Soe Hok Gie yang mati muda. Atau, juga pejuang Bolivia sekaliber Nestor Paz, gerilyawan yang melihat penindasan, kekejaman dan kekejian imperialisme sebagai musuh yang harus ditumpas. Berbekal niat untuk menegakkan keadilan, Nestor Paz memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan memanggul senjata.
Juga, kepada istri saya, saya mengingatkan bahwa ibunda seorang demonstran harus teguh, kuat, dan tidak jantungan. Sebab, hari-hari yang akan dilaluinya akan penuh dengan ancaman dari perkauman yang terusik. Tapi, apa jawabnya?
“Saya yakin, mungkin Dia yang akan mewarisi darah cerdas, pemberani, demonstran, punya ayahnya. Gie punya kesamaan dengan ayah dari anak-anak saya, sebelum dia terseret ke dunia politik. Itulah bedanya Gie dengan seorang Fredy. Sebab saya juga yakin kalau Gie tidak mati di usia 27 tahun, dia tidak akan memilih hidup sebagai politisi. Dia akan memilih hidup sebagai seorang dosen dan wartawan (penulis). Dengan begitu, dia menjadi orang-orang bebas.”
Duh! Saya katakan kepada mantan wartawati Harian Pos Kupang ini bahwa politik sebetulnya jalan bagi para pejuang untuk memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. Kekuasaan politik harus direbut oleh orang-orang yang peduli pada rakyat. Peduli pada demokrasi. Peduli pada penegakan hukum. Peduli pada hak-hak azasi manusia. Seperti kata Bung Kanis Pari (alm), “Anakku! Kau mewarisi jiwa orang-orang pemberani, yang basah oleh keringat, air mata dan darah. Tapi, kau masa bodoh dan tidak menentu. Sekaranglah waktunya, kau merebut warisan itu dengan kebajikan dan pengorbanan.”
Ya, itulah yang harus diperjuangkan dalam merebut kekuasaan. Bukan dengan uang untuk membeli suara rakyat. Juga, bukan dengan tipu muslihat untuk merampas kekuasaan. Pun, bukan dengan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan politik. Dengan begitu, kekuasaan politik bisa berjalan pada aras yang benar: demi kemajuan masyarakat yang dipimpin. Iya kan? (*)
Rabu, 06 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar