Selasa, 21 Oktober 2008

Asal Manusia Lamaholot dari Sina-Jawa-Malaka

Asal usul manusia Lamaholot yang mendiami Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Lembata, Solor dan Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atau yang lebih populer dengan sebutan "Solor Watan Lema" dari turunan Sina-Jawa-Malaka.

Asal usul turunan tersebut merupakan pengaruh Hindu-Budha dari India Belakang yang diikuti pengaruh Islam dari Gujarat dan Persia dengan arus aliran persinggahan dari India ke Malaka serta dari China ke Muangthai kemudian bertemu di pusarana nusantara dengan persinggahan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

"Pengaruh budaya tersebut kemudian mewariskan puing-puing kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra, Candi Borobudur dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan. Dari sana arus perubahan bergerak masuk ke Kepulauan Timor, termasuk Kepulauan Solor sebagai wilayah Lamaholot," kata DR Chris Boro Tokan SH.MH di Kupang, Kamis.

Dosen Luar Biasa di Bidang Hukum dan Perubahan Sosial Fakultas Pascasarjana Bidang Ilmu Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan kebenaran asal usul manusia Lamaholot yang sering dibuat kontroversi oleh Bupati Flores Timur, Simon Hayon.

Setelah arus tradisional membawa babak perubahan sosial Lamaholot, kata Boro Tokan, giliran arus religius mengisi babak baru Lamaholot melalui imperialisme bangsa Portugis yang menularkan agama nasrani (Katolik) di Lamaholot.

Sementara itu, masuknya muslim di Lamaholot disinyalir kuat sebagai perpindahan arus konflik dari Ternate dan Tidore (Maluku) antara Kesultanan Ternate dan Tidore (Muslim), meski sebelumnya Islam Malaka telah masuk lebih dahulu melalui arus Sina-Jawa-Malaka.

"Dari sinilah imperialisme Portugis dan Belanda membagi kekuasaan di Kepulauan NTT. Portugis berkuasa di Timor Timur dan sebagian wilayah Timor bagian barat NTT seperti Belu dan Timor Tengah Utara serta Pulau Flores dan Kepulauan Solor, sedang Belanda berkuasa di Timor Barat serta Sumba dan Rote," katanya.

Menurut Ketua Biro Cendekiawan, Penelitian dan Pengembangan, Lingkungan Hidup DPD I Partai Golkar NTT periode 2004-2009 ini, nilai religius (nasrani dan muslim) telah membentuk keyakinan generasi baru Lamaholot.

Keyakinan baru (religius) manusia Lamaholot itu, katanya, tidak dapat menghilangkan warisan keyakinan generasi primitif Lamaholot yang mengimplementasikan keyakinan itu dengan sebutan "hulen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan" (yakin akan pencipta langit dna bumi) dan keyakinan generasi tradisional Lamaholot tentang lewotanah (kampung halaman).

"Walaupun era modernisasi telah tampil dalam kehidupan masyarakat Lamaholot melalui kemajuan bidang pendidikan untuk membentuk keyakinan hati nurani baru Lamaholot dan mengubah pola berpikir primitif atau tradisional menjadi modern, keyakinan akan `hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan` tetap saja ada," katanya.

Mantan Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI) periode 1985-1988 itu menambahkan, manusia Lamaholot dengan pola pikir primitif dapat tertelusuri dalam sejarah oral asal usul pemuda Patigolo Arakian di Gunung Ile Mandiri dengan isterinya Watowele, seorang putri titisan dari Ile Mandiri.

Selain itu, katanya, dapat ditelusuri pula melalui sejarah oral pemuda Kelake Ado Pehan dengan isterinya Kwae Sode Boleng, seorang putri titisan Ile Boleng di Pulau Adonara serta pemuda Uwe Kole dengan seorang putri yang merupakan jelmaan alam dari ubi hutan.

Boro Tokan mengatakan, tahapan primitif manusia Lamaholot dalam masa transisi ke tahapan tradisional ditandai dengan adanya Kerajaan Lewo Nama yang dipimpin oleh turunan dari Patigolo Arakian.

Di bagian timur laut Pulau Adonara, berdirilah Kerajaan Molo Gong dan di selatan barat daya pulau itu berdirilah Kerajaan Wotan Ulu Mado, di bagian tengah Pulau Adonara berdirilah Kerajaan Libu Kliha dan di selatan berdirilah Kerajaan Lamahala, Terong dan Kerajaan Lian Lolon yang merupakan cikal bakal Kerajaan Adonara.

Selain itu, ada juga Kerajaan Awo Lolon di Pulau Pasir dekat Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata di Pulau Lembata serta Kerajaan Lamakera dan Lohayong di Pulau Solor.

Ia menjelaskan, nilai magic kehidupan yang diyakini manusia primitif Lamaholot saat itu amat mencengangkan, yakni melalui keyakinan holistik yang menyatukan alam semesta dengan anusia.

Sang pencipta, alam semesta dan manusia sebagai satu kesatuan total yang tidak dapat dipisah-lepaskan melalui ketaatan manusia dalam keyakinan Lamaholot yang disebut "hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan", ujarnya.

Keunggulan manusia primitif Lamaholot, kata Boro Tokan, dapat menyatukan jagat dalam mengarungi sebuah misi perjalanan yang jauh dalam bahasa setempat disebut "bua buku tanah".

"Dari tahapan primitif ke tahapan tardisional itulah mengalir paham Sina Jawa yang disinyalir membawa masuk ajaran dan keyakinan Hindu-Budha dalam proses membentuk keyakinan tradisional orang Lamaholot sampai sekarang," katanya.(antara/ntt online)

Asal Manusia Lamaholot dari Sina-Jawa-Malaka

Asal usul manusia Lamaholot yang mendiami Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Lembata, Solor dan Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atau yang lebih populer dengan sebutan "Solor Watan Lema" dari turunan Sina-Jawa-Malaka.
Asal usul turunan tersebut merupakan pengaruh Hindu-Budha dari India Belakang yang diikuti pengaruh Islam dari Gujarat dan Persia dengan arus aliran persinggahan dari India ke Malaka serta dari China ke Muangthai kemudian bertemu di pusarana nusantara dengan persinggahan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

"Pengaruh budaya tersebut kemudian mewariskan puing-puing kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra, Candi Borobudur dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan. Dari sana arus perubahan bergerak masuk ke Kepulauan Timor, termasuk Kepulauan Solor sebagai wilayah Lamaholot," kata DR Chris Boro Tokan SH.MH di Kupang, Kamis.

Dosen Luar Biasa di Bidang Hukum dan Perubahan Sosial Fakultas Pascasarjana Bidang Ilmu Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan kebenaran asal usul manusia Lamaholot yang sering dibuat kontroversi oleh Bupati Flores Timur, Simon Hayon.

Setelah arus tradisional membawa babak perubahan sosial Lamaholot, kata Boro Tokan, giliran arus religius mengisi babak baru Lamaholot melalui imperialisme bangsa Portugis yang menularkan agama nasrani (Katolik) di Lamaholot.

Sementara itu, masuknya muslim di Lamaholot disinyalir kuat sebagai perpindahan arus konflik dari Ternate dan Tidore (Maluku) antara Kesultanan Ternate dan Tidore (Muslim), meski sebelumnya Islam Malaka telah masuk lebih dahulu melalui arus Sina-Jawa-Malaka.

"Dari sinilah imperialisme Portugis dan Belanda membagi kekuasaan di Kepulauan NTT. Portugis berkuasa di Timor Timur dan sebagian wilayah Timor bagian barat NTT seperti Belu dan Timor Tengah Utara serta Pulau Flores dan Kepulauan Solor, sedang Belanda berkuasa di Timor Barat serta Sumba dan Rote," katanya.

Menurut Ketua Biro Cendekiawan, Penelitian dan Pengembangan, Lingkungan Hidup DPD I Partai Golkar NTT periode 2004-2009 ini, nilai religius (nasrani dan muslim) telah membentuk keyakinan generasi baru Lamaholot.

Keyakinan baru (religius) manusia Lamaholot itu, katanya, tidak dapat menghilangkan warisan keyakinan generasi primitif Lamaholot yang mengimplementasikan keyakinan itu dengan sebutan "hulen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan" (yakin akan pencipta langit dna bumi) dan keyakinan generasi tradisional Lamaholot tentang lewotanah (kampung halaman).

"Walaupun era modernisasi telah tampil dalam kehidupan masyarakat Lamaholot melalui kemajuan bidang pendidikan untuk membentuk keyakinan hati nurani baru Lamaholot dan mengubah pola berpikir primitif atau tradisional menjadi modern, keyakinan akan `hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan` tetap saja ada," katanya.

Mantan Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI) periode 1985-1988 itu menambahkan, manusia Lamaholot dengan pola pikir primitif dapat tertelusuri dalam sejarah oral asal usul pemuda Patigolo Arakian di Gunung Ile Mandiri dengan isterinya Watowele, seorang putri titisan dari Ile Mandiri.

Selain itu, katanya, dapat ditelusuri pula melalui sejarah oral pemuda Kelake Ado Pehan dengan isterinya Kwae Sode Boleng, seorang putri titisan Ile Boleng di Pulau Adonara serta pemuda Uwe Kole dengan seorang putri yang merupakan jelmaan alam dari ubi hutan.

Boro Tokan mengatakan, tahapan primitif manusia Lamaholot dalam masa transisi ke tahapan tradisional ditandai dengan adanya Kerajaan Lewo Nama yang dipimpin oleh turunan dari Patigolo Arakian.

Di bagian timur laut Pulau Adonara, berdirilah Kerajaan Molo Gong dan di selatan barat daya pulau itu berdirilah Kerajaan Wotan Ulu Mado, di bagian tengah Pulau Adonara berdirilah Kerajaan Libu Kliha dan di selatan berdirilah Kerajaan Lamahala, Terong dan Kerajaan Lian Lolon yang merupakan cikal bakal Kerajaan Adonara.

Selain itu, ada juga Kerajaan Awo Lolon di Pulau Pasir dekat Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata di Pulau Lembata serta Kerajaan Lamakera dan Lohayong di Pulau Solor.

Ia menjelaskan, nilai magic kehidupan yang diyakini manusia primitif Lamaholot saat itu amat mencengangkan, yakni melalui keyakinan holistik yang menyatukan alam semesta dengan anusia.

Sang pencipta, alam semesta dan manusia sebagai satu kesatuan total yang tidak dapat dipisah-lepaskan melalui ketaatan manusia dalam keyakinan Lamaholot yang disebut "hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan", ujarnya.

Keunggulan manusia primitif Lamaholot, kata Boro Tokan, dapat menyatukan jagat dalam mengarungi sebuah misi perjalanan yang jauh dalam bahasa setempat disebut "bua buku tanah".

"Dari tahapan primitif ke tahapan tardisional itulah mengalir paham Sina Jawa yang disinyalir membawa masuk ajaran dan keyakinan Hindu-Budha dalam proses membentuk keyakinan tradisional orang Lamaholot sampai sekarang," katanya.(antara/ntt online)

LAP Timoris Gelar Debat Caleg di Lembata

Vox populi, vox dei. Suara rakyat, suara Tuhan. Boleh itu, itulah yang mengilhami Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris untuk menggelar Debat Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten Lembata menyongsong Pemilu 2009 mendatang. Kegiatan ini dilakukan atas pembiayaan dari Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) pimpinan Dr. Ignas Kleden.
"Amanah konstitusi menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal. Yakni, pertama, memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat. Dan, kedua, untuk memilih wakil rakyat yang akan ditugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan," jelas Direkrut LAP Timoris, Hipolitus Mawar didampingi stafnya, Yustina Seran dan Petrus Kopong.
Cara perwujudan kedaulatan tersebut, papar dia, adalah melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan ditugasi menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik masyarakat, membuat peraturan perundang-undangan (peraturan daerah), serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi di atas. Target utama dalah kesejateraan rakyat. "Di sisi lain, pemilu DPR, DPD, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota dengan azas luber dan jurdil di setiap lima tahun sekali, dilaksanakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang memberikan jaminan setiap warga terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan. Dengan azas langsung, rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai keinginannya, tanpa perantara. Azas umum menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga tanpa diskriminasi," tutur dia.
Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil memberikan dampak positif dalam penguatan demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Masyarakat diberikan hak suara untuk memilih calon perseorangan (DPD) maupun calog anggota legislatif (caleg) yang diusung partai politik yang mereka nilai akan mampu memperjuangkan aspirasinya apabila nantinya terpilih dalam pemilu.
"Pemilih dituntut cerdas untuk bisa memilih dan menilai dengan baik dan cermat siapa wakil rakyat yang pantas dan bisa memperjuangkan aspirasinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemilih haruslah mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hak dan kewajibannya dalam pemilu sehingga tumbuh suatu kesadaran yang tinggi akan pentingnya keikutsertaan dalam pemilu. Juga, pemilih mengenal dan memahami agenda politik/program para caleg dari partai politik yang akan mewakilinya. Artinya, para caleg pun dituntut memiliki kompetensi dan integritas diri agar dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Pengalaman dari pemilu ke pemilu memperlihatkan bahwa pemilih lebih menjatuhkan pilihan atas pertimbangan emosional daripada pertimbangan yang kritis, rasional dan obyektif<," tandasnya.
Menurut dia, debat caleg menjadi momentum yang dibutuhkan, selain untuk membuka ruang publik bagi pemilih dan para caleg untuk mengemukakan gagasan-gagasannya, juga menjadi arena pendidikan kritis bagi masyarakat. "Debat caleg merupakan wahana untuk menguji kompetensi para caleg di setiap daerah pemilihan. Sehingga masyarakat bisa secara kritis melihat kapasitas setiap figur caleg sebelum menjatuhkan pilihannya. Dengan begitu, diharapkan masyarakat tidak lagi terjebak pada sentimen-sentimen primordial atau politik uang yang justru menghambat proses demokratisasi," ungkap Hipol Mawar.
Di Kabupaten Lembata, terdaftar 34 partai politik yang akan ikut meramaikan Pemilu Legislatif 2009, dengan lebih dari 1000 (seribu) orang Caleg. Hal ini sebagai pertanda rakyat semakin antusias untuk mengikuti pemilu legislatif 2009. "Pada saat yang bersamaan, pemilih pun dibikin kerepotan untuk menentukan pilihannya diantara ratusan alternartif yang ada. Hal itu menuntut kemampuan analisis agar tidak keliru menjatuhkan pilihannya," kata dia.

Untuk itulah, sambung dia, "kami menggelar Caleg (DPRD) Lembata Menuju Pemilu 2009 Yang Demokratis.
Dijelas bahwa debat caleg dilakukan selain untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya dalam Pemilu 2009, dan membuka tabir kapasitas para caleg yang bertarung dalam Pemilu 2009 melalui Forum Debat Caleg, juga membangun komitmen para politisi untuk tidak melakukan politik uang.
Dia berharap dengan debat caleg m
asyarakat memiliki kecerdasan untuk menentukan hak dan kewajibannya pada Pemilu 2009, serta memiliki referensi tentang kapasitas para caleg yang bertarung dalam Pemilu 2009 melalui Forum Debat Caleg. "Juga, diharapkan agar para caleg berkomitmen untuk tidak mempraktekkan politik uang," tandasnya, penuh harap.

Dalam menyelenggarakan debat caleg, LAP Timoris akan melakukan koordinasi dengan KPUD Lembata dan Lembata. Selain dilakukan dalam forum yang menghadirkan pemilih, debat caleg juga dilakukan melalui radio Suara Demos.

Direncanakan kegiatan debat caleg akan dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 Nopember 2008. (fre)

Rabu, 03 September 2008

LP3ES: Hanya 79 Persen Pemilih Pemilu 2009 Masuk DPS

Jakarta - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyatakan 79,2 persen masyarakat terdaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS). Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memberikan kesempatan kepada 20,8 persen pemilih lainnya untuk didaftarkan dan masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009
"Meski angka ini bisa kita toleransi bagi sebuah daftar sementara, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar masyarakat pemilih masuk dalam daftar pemilih tetap," kata Kepala Divisi Penelitian LP3ES Fajar Nursahid dalam rilisnya tentang hasil Audit Daftar Pemilih (ADP) yang diterima detikcom, Kamis (21/8/2008).

Menurut Fajar, pada pemilu legislatif 2004 lalu pemilih yang masuk daftar pemilih tetap tercatat hampir sekitar 91 persen. Dari temuan ADP yang dilakukan LP3ES yang bekerjasama dengan NDI dan USAID ini, menunjukkan hanya segelintir orang tahu tentang periode pengecekan nama DPS tanggal 8-14 Agustus 2008, atau hanya 7,3 persen pemilih.

"Meskipun tingkat pendaftaran ini tidaklah buruk bagi pendaftaran sementara, namun sebanyak 20,8 persen pemilih masih harus diberikan kesempatan untuk menambahkan namanya dalam daftar pemilih. Tentunya hal ini sulit dilakukan, jika mereka tidak mengetahui bahwa sisa waktu yang mereka miliki tinggal satu hari lagi untuk memberikan tanggapan atas DPS itu," jelasnya.

Fajar juga menerangkan temuan lainnya, yaitu 19,8 persen pemilih yang terdaftar dalam DPS sudah tidak lagi bertempat tinggal di alamat yang tercantum, baik permanen maupun dalam jangka waktu tertentu. 3,3 persen nama yang seharusnya tidak tercantum lagi dalam DPS, ternyata masih tercantum, seperti orang yang meninggal dunia, nama dan alamat yang tidak dikenal, belum berumur 17 saat
pemilu dan anggota TNI dan Polri.

Terkait akurasi data, lanjut Fajar, dalam ADP juga ditemukan fakta bahwa informasi DPS berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akurat hanya 39,5 persen. 67,9 persen nama pemilih telah akurat, 77,1 persen jenis kelamin akurat, 58,8 persen penulisan tanggal lahir akurat, serta 68,6 persen menuliskan alamat dengan akurat.

Meski tingkat pendaftaran hampir mendekati 80 persen, namun 62,8 persen pemilih merasa terdaftar, 15 persen pemilih merasa tidak terdaftar dan 22,2 persen pemilih tidak mengetahui apakah terdaftar atau tidak. Yang cukup disayangkan tingkat aktivitas masyarakat untuk memeriksa dan mengecek DPS juga masih rendah.

"Kurang setengah atau 48,1 persen responden yang akan memeriksa namanya, 36 persen mengaku tidak akan memeriksanya, dan hanya 3,4 persen yang sudah mengecek namanya," ujar Fajar menambahkan.

Untuk itu, jelas Fajar, KPU harus memperpanjang waktu pengumuman DPS dan segera melakukan evaluasi internal terkait daftar pemilih ini. KPU diminta lebih menekankan soal akurasi data, dibandingkan persoalan tenggat waktu finalisasi daftar pemilih.

Minggu, 18 Mei 2008

Leragere Bakal Rawan Pangan

Lewoleba—Masyarakat Leragere,Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata terancam rawan pangan. Pasalnya, para petani setempat mengalami gagal panen akibat badai angina kencang awal tahun ini.
Hal itu disampaikan tokoh masyarakat Leragere, Paulus Atu dan Yopi Bataona di Lewoleba, Sabtu (17/5). “Panen tahun ini memang gagal total. Tanaman jagung dan padi sudah roboh diterjang angin kencang,” ujar Paul diamini Yopi.
Mereka mengaku sudah melakukan pendataan dan melaporkan kondisi tersebut kepada pemerintah kecamatan Lebatukan dan Pemkab Lembata melalui Dinas Sosial. Diharapkan agar Pemkab cepat tanggap untuk membantu meringankan beban masyarakat.
Sejumlah kalangan berharap agar Pemkab tidak bersikap acuh tak acuh gara-gara sebelumnya masyarakat Leragere beramai-ramai menolak rencana Pemkab Lembata untuk melakukan pembangunan industri tambang di sana. Sikap warga ini sempat memicu kekecewaan hebat Bupati Lembata, Drs.Andreas Duli Manuk. (fre)

Sabtu, 19 April 2008

Masyarakat Bulat Menolak Pertambangan di Lembata

Pembukaan tambang secara besar-besaran di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, ditolak warga setempat. Mereka menilai kegiatan pertambangan hanya akan merusak lingkungan dan peradaban di daerah tersebut Sementara tidak semua penduduk di sekitarnya dapat terserap sebagai tenaga kerja.
Usaha pertambangan tersebut tidak akan membawa manfaat bagi penduduk di kawasan itu, sebaliknya justru akan memiskinkan masyarakat. Apalagi dalam catatan kegiatan pertambangan di Indonesia belum ada yang mampu menyejahterakan masyarakat lokal.
Demikian terungkap dalam Panel Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik usaha-usaha Pertambangan Sabtu (1/3} di Jakarta. Diskusi itu menyoroti kisruh Pembukaan tambang tembaga di Lembata.
Diskusi menampilkan pembicara Vande Raring SV.D Ende (dari Office for Justice Peace and integrity of Creation-JPIC). Peter C Aman, OFM (Direktur JP1C), Philipus Muda (tua adat Lera-gere, Lembata), Abu Achmad (tua adat Kedang, Lembata), George Junus Aditjondro (dosen Sanata Dharma Yogyakarta). Hendro Sangkoyo (ahli pertambangan dan energi) Edi Danggur (konsultan hukum pertambangan), dan Bonni Hargens (dosen FISIP UI).
Edi Danggur mengatakan janjii pemerintah bahwa kegiatan pertambangan mampu menaikkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat tidak akan membawa hasil. la mencontohkan, pertambangan di Provinsi Riau menyumbang 80 persen pendapatan asli daerah, namun, tenaga kerja berkualitas yang masih sulit didapat dari penduduk lokal,” kata Edi.
Sementara pembebasan lahan masyarakat dan lahan ulayat untuk Pembukaan kawasan tambang membuat rakyat kehilangan mata pencaharian dan lahan.
Ahli mineral dan pertambangan, Hendro Sangkoyo. mengatakan, “Pemerintah seharusnya mengerem laju pertumbuhan industri keruk jika tidak mampu
mengatur dan mengelolanya. Yang terjadi selalu lingkungan dihabisi dan masyarakat lokal tersinkir.
Penambangan emas yang akan dilakukan PT Merukh Enterpris itu rencananya dilakukan di wilayah Kedang dan Leragere 91.595 hektar atau 72,32 persen dari total luas areal Lembata (126,638 hektar). Mereka melakukan sumpah adat sebelum menolak. Tokoh masyarakat Leragere, Philipus Muda, menegaskan penolakan tambang di Lembata adalah harga mati.”
Terhitung Januari - Juli 2007. Beberapa tetua adat Lembata
Menggelar enam kali ritual adat penolakan tambang. Pemangku adat di Kedang, Abu Achmad, mengatakan, kebijakan pemerintah telah mengabaikan rakyat karena tanpa sosialisasi.
Peter Amart mengatakan, pemerintah tak pernah belajar dari pengalaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, apalagi wilayah Flores bagian dari lintasan jalur gunung api.
Ancaman terutama pada ekologi hilir yang akan mengancam populasi ikan paus di Laut Sawu sekaligus berpotensi menghancurkan peradaban lokal yang memiliki tradisi menombak ikan paus dengan etika kecukupan demi kelangsungan hidup.
“Pertambangan tidak menjawab persoalan masyarakat. Semestinya program pembangunan berbasis potensi masyarakat lokal. Di Lembata banyak ikan laut, mutiara, dan masyarakat tani, itulah yang harus dikembangkan,” kata Peter Aman.
Sementara itu, Aditjondro menyajikan mekanisme “de-lingking” untuk perjuangan pembatalan rencana investasi pertambangan itu. Misalnya dengan mengidentifikasi mitra-mitra asing maupun pialang nasional untuk membantu pengarahan advokasi antitambang secara hemat dan efektif.

Kamis, 10 April 2008

KPRL: Bupati Lembata Jangan Berbohong


Lewoleba, ANAK LEMABATA

Koordinator Koalisi Perlawanan Rakyat Lembata (KPRL), Yohanes Boro meminta Bupati Lembata Drs.Andreas Duli Manuk untuk lebih jujur dalam memberikan informasi kepada publik. Hal ini disampaikan berkaitan dengan pemberitaan seputar masalah rencana investasi penambangan di Kabupaten Lembata.“Bupati jangan merasa bahwa penyerahan tanah oleh sejumlah oknum yang mengaku sebagai pemegang hak ulayat itu sudah selesai. Mereka bukanlah pemegang ulayat.Dan itu sudah disampaikan oleh para tokoh masyarakat Benihading Leupitu, Kedang kepada Pemkab dan DPRD Lembata,” tandas Boro, kepada Simpul Demokrasi NTT Online, di Lewoleba, Selasa (8/4).Menurut Boro, pernyataan Bupati Manuk yang mengklaim masalah tanah yang akan menjadi lokasi penambang sudah selesai sangat tidak beralasan.”Saya kira, seluruh masyarakat Lembata sudah tahu bahwa tanah itu masih bermasalah. Tuan tanah tidak mau menyerahkan tanahnya. Mereka yang menyerahkan tanah sedang dalam posisi terancam. Pak Bupati jangan menutup mata terhadap kenyataan adanya ancaman konflik di lapangan,” ujarnya, berharap.Sebagaimana diketahui, warga dari lima suku yang mengaku sebagai pemegang hak ulayat Tuamado, telah menyerahkan hamparan tanah yang menjadi titik utama lokasi pertambangan tembaga dan emas di Kabupaten Lembata.Lima suku pemegang hak tanah ulayat itu adalah Suku Potiretu, Leo Ara, pemegang hak ulayat Suku Lodo Lelang; Andreas Abe, Suku Tuamado, Benediktus Telu; Suku Lelangrian, Abdulah Benu; Suku Laa Wayang, Sadi Lari dan Suku Watang Walang, Kornelis Kopaq, kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, di Lembata, Jumat.Ia mengemukakan pandangan itu terkait masalah tanah ulayat yang menjadi lokasi utama rencana tambang tembaga dan emas di Lembata yang disuarakan berbagai komponen masyarakat daerah itu.“Soal lokasi yang dipersoalkan selama ini sudah tidak bermasalah. Sudah ada penyerahan secara sukarela dari para pemilik hak ulayat,” kata Bupati Manuk seperti dikutip LKBN Antara.Lokasi Wae Puhe dan Bean, menurut data-data penyidikan umum, data ilmiah yang dihasilkan foto satelit dan eksplorasi yang telah dilakukan, merupakan kawasan deposit emas dan tembaga terbesar di Pulau Lembata. Kandungan itu telah diketahui sejak zaman penjajahan Belanda.Kawasan Wae Puhe terletak di bagian barat dikenal dengan “gold ridge”, sedangkan kawasan Bean disebut “coper ridge” karena ditemukan bukit yang mengandung mineral tembaga.Bupati menambahkan, sudah ada kesepakatan pula antara pemilik hak ulayat, pemerintah daerah dan investor tentang memberian ganti rugi yang layak kepada para pemilik tanah.“Ada hak kepemilikan perorangan dalam lokasi maupun di sekitar tambang. Itu juga sudah dibicarakan mengenai pemberian ganti rugi yang layak sesuai dengan kesepakatan,” katanya.Tentang sikap warga, ia mengatakan para pemegang hak ulayat telah menyatakan sikap untuk berada dalam posisi netral, tidak ingin mempersoalkan kehadiran tambang tembaga di Lembata.Saat ini rencana investasi tambang di Lembata masih dalam tahapan awal dan belum sampai pada tahap eksploitasi. Karena itu, jika ada pandangan yang menyebutkan bahwa pemerintah telah menjual Lembata kepada investor adalah hal yang tidak benar, kata Bupati Lembata.Mengomentari pernyataan Bupati Manuk itu, koordinator KPRL mengaku prihatin. “Apa yang dikatakan Bupati Manuk merupakan tindakan yang patut disesalkan karena dapat memicu konflik di lapangan. Saya berharap agar pak Bupati tidak mengelak dari tanggungjawab jika benar-benar terjadi konflik karena pernyataannya itu,” tegasnya, mengingatkan.Dikatakan, segenap warga Benihading Leupitu telah menggelar Musyawarah Luar Biasa untuk membahas sikap oknum warga Tuamado. Mubes tersebut sekaligus meredam emosi warga untuk tidak bertindak anarkhis terhadap para oknum yang secara sepihak menyerahkan tanah kepada Pemkab Lembata. “Kabarnya ada warga Tuamado yang ketakutan dan terpaksa mengungsi dari Tuamado. Ini harus diantisipasi secara dini, dan Bupati jangan lagi perkeruh keadaan,” tandas Boro. (fre)

Kamis, 03 April 2008

KRONOLOGI KASUS PENYERAHAN TANAH OLEH 6 ORANG KEPALA SUKU DARI TUA MADO DESA PANAMA KECAMATAN BUYASURI

Anggota DPRD Lembata, Alwi Murin tengah berorasi.
Massa yang menghadiri musyawaraah luar biasa Benihading Leupitu.
Ketua FKTL, Bediona Philipus, SH, MA tengah berorasi.

Laporan: San Taum


1. Pada hari Kamis, tanggal 21 Februari 2008, di Lopo Moting Lomblen, Bupati menyelenggarakan acara penandatangan berita acara penyerahan tanah Wei Puhe, dari 6 Orang Kepala Suku Tua Mado, Kedang, Kecamatan Buyasuri, kepada dirinya sebagai Bupati Lembata, untuk kepentingan pembangunan industri pertambangan oleh PT Merukh Enterprise.
Berita acara penyerahan tanah tersebut ditanda-tangani oleh ke 6 kepala suku, sebagai pihak pertama, yang menyerahkan tanah, dan bupati Lembata, sebagai pihak ke dua, yang menerima penyerahan tanah. Ke-6 kepala suku tersebut adalah:
Ledo Ara, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Potiretu.
Anreas Abe, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lodo Laleng
Benediktus Telu, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Tuamado
Abdullah Beni, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lelangrian
Sadi Lari, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Laa Wayang
Kornelis Kopaq, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Watang Wala.
Ada dua pihak lain, yang ikut menanda-tangani Berita Acara Penyerahan Tanah Ulayat tersebut adalah pertama, pihak yang disebut sebagai “turut memberikan dukungan” dan Kedua, Saksi. Tercatat 6 orang turut memberikan dukungan, atas penyerahan tanah ulayat tersebut adalah:
· Lambertus Lawe : Ketua Basis Tuamado dalam Paroki Aliuroba.
· Naya Mudin : Imam Masjid Tuamado
· Yusuf Muda : Tokoh Masyarakat Tuamado
· Petrus Wutun : Tokoh Adat Tuamado
· Yosephat Sudarso Dolu : Tokoh Pemuda Tuamado
· Kristina Kewa : Tokoh Perempuan Tuamado
Sedangkan yang bertindak sebagai saksi adalah Camat Buyasuri dan 16 orang Kepala Desa, yakni:
· Muchtar Sarabiti : Camat Buyasuri
· Rachmat Wulakada : Kepala Desa Bean
· Ruslan Huraq : Kaur Umum Benihading II
· Gabriel P. Buyanaya : Kepala Desa Tubung Walang
· Petrus Lating : Kepala Desa Roho
· Yeremias Huraq : Kepala Desa Loyobohor
· Antonius Likuwatan : Kepala Desa Leuburi
· Abdullah Roda Mude : Kepala Desa Kaohua
· Paimudin Hibaratu : Kepala Desa Umaleu
· Ibrahim Lamawulo : Kepala Desa Tobotani
· Umar Ledo S Making : Kepala Desa Rumang
· Yusuf Paokuma : Kepala Desa Kalikur WL
· Yoseph Sumatantra : Kepala Desa Buriwutung
· Petrus Pua Ubawala : Kepala Desa Mampir
· Abdul Malik Peuohaq : Kepala Desa Leuwohung
· Hasan Liliweri : Kepala Desa Bareng
· Sulaiman Syarif : Kepala Desa Kalikur.
Dalam acara yang sama Gabriel Raha, lebih dikenal dengan nama Gaba Raha, salah seorang warga Peumole, Benihading II, Buyasuri, ikut membacakan pernyataan dukungan terhadap Kebijakan Tambang, dan kesediaan menyerahkan tanah sukunya, untuk dijadikan lokasi tambang. Bahkan apabila lokasi tersebut tidak terdapat kandungan emas atau tembaga, dapat dijadikan lokasi perkantoran, atau basecamp PT Merukh Enterprise.
Kejanggalan dalam Kasus Penyerahan Tanah Tuamado al:
· Penandatanganan Berita Acara Penyerahan Tanah dilakukan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen Lewoleba, oleh Bupati dan beberapa kepala suku, tetapi di dalam berita acara tertulis tanggal 13 Desember 2007 di Tuamado. Berdasarkan hasil investigasi FKTL, pada tanggal 13 Desember 2007, tidak terjadi peritiwa penyerahan tanah ulayat di Tuamado, yang dihadiri Bupati, dan para saksi, dan pendukung, sebagaimana tercantum di dalam lembaran berita acara. Dicurigai, penggunaan tanggal “mundur” tersebut, dengan sengaja dilakukan untuk menjaga keabsahan saksi, yang terdiri para Kepala Desa di Kecamatan Buyasuri, yang pada pada peristiwa penandatangan Berita Acara oleh Bupati, tanggal 21 Februari 2008, sebagian besar di antaranya telah berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh Kepala Desa yang baru terpilih. Itu berarti, penandatanganan berita acara oleh para saksi, telah dilakukan mendahului penandatangan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Berarti Camat dan ke 15 Kepala Desa, telah dengan sengaja membuat penipuan di dalam berita acara penyerahan tanah tersebut.
· Secara hukum, substansi penyerahan tanah tersebut mengandung kelemahan, karena tidak secara jelas mencantumkan obyek penyerahan tanah tersebut. Berita Acara tidak mencantumkan secara jelas di mana letak lokasi tanah yang diserahkan, berapa luasnya, batas-batasnya, di atasnya melekat hak apa dan siapa saja, dan berapa banyak orang yang sedang mengelola tanaha tersebut, dengan beragam hak yang mereka miliki (hak milik, hak garap, bagi hasil, dll). Hanya disebutkan dalam butir 1 Berita Acara: Hamparan Tanah Ulayat di titik tambang Wei Puhe dan sekitarnya. Itu berarti Pemerintah Kabupaten, yang terdiri dari Bupati sendiri, Camat Buyasuri, dan ke 15 Kepala Desa tersebut telah dengan gegabah terlibat di dalam suatu transaksi tanah, yang berisiko sosial tinggi. Dalam suasana masyarakat Kedang menolak rencana investasi tambang, yang diekspresikan secara tegas sekali di dalam bentuk demo damai (24-25 Juli 2007), dan polemik di Media Masa selama ini, Pemerintah Kabupaten Lembata, telah dengan sadar terlibat di dalam sebuah transaksi tanah, yang berisiko pada terjadinya konflik horisontal antar suku-suku di Kedang.
· Lebih fatal lagi, Pemerintah Kabupaten, terutama Camat Buyasuri dan Bupati sama sekali tidak mempertimbangkan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut. Mereka tidak mempertanyakan apakah ke 6 orang tersebut memang berwewenang atas tanah ulayat tersebut atau tidak. Karena penyerahan tanah oleh suku Tuamado tersebut ternyata kemudian, menimbulkan reaksi kegelisahan, kecemasan, kemarahan, keresahan, di tengah Masyarakat kampung-kampung di sekitar Tuamado, dari Hobamatan-Leu Hapu, Benihading Leu Pitu, Waq-Lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang. Reaksi tersebut berkembang karena berdasarkan realita dan bukti-bukti sejarah hak atas tanah suku-suku di Kedang, Tuamado, dengan ke 6 kepala suku tersebut, sama sekali tidak berkuasa atas tanah ulayat yang diserahkan. Mereka telah dengan berani sekali menyerahkan Tanah Ulayat yang bukan merupakan hak suku mereka, melainkan hak ulayat dari Komunitas Adat Benihading dan Nala Hading.
2. Tanggal 22 Februari 2008, Harian Flores Pos pada Desk Lembata, membuat berita dengan dngan judul, “Disesalkan Sikap Bupati Manuk, Dua Suku Serahkan Tanah untuk Tambang“. Alwi Murin, Anggota DPRD Asal Daerah Pemilihan Kedang, dari Benihading Leu Pitu, dari suku Etoehaq, menegaskan bahwa peristiwa penyerahan tanah tersebut patut dicurigai sebagai sebuah rekayasa oleh pihak tertentu yang mau memperdayai dan memprovokasi masyarakat Kedang. Ia ingatkan, bahwa penyerahan tersebut seolah-olah telah meniadakan keberadaan suku-suku lain di Benihading Leu Pitu, dan menegaskan sikap tersebut sangat membahayakan persatuan dan kesatuan masyarakat Kedang, kususnya di tanah ulayat Komunitas Adat Benihading Leu Pitu.
3. Tanggal 23 Februari 2008, menurunkan berita dengan topik, “Bupati Manuk harus bertanggung jawab”, berisi kecaman Stanis Kapo, tokoh Masyarakat Kedang, di Lewoleba, yang dengan tegas, menuntut pertanggung-jawaban Bupti, apabila kasus penyerahan tanah tersebut berakibat pada terjadi konflik antar suku, dan pertumpahan darah di Kedang. Eman Ubuq, Ketua Baraksatu, menegaskan peristiwa penyerahan tanah tersebut merupakan sebuah provokasi.
4. Peristiwa penyerahan tanah oleh ke enam orang Kepala Suku dari Tuamado, dan Gaba Raha dari Peumole tersebut, mengagetkan dan menggemparkan masyarakat Lembata, baik yang berada di Lewoleba sendiri, maupun masyarakat yang berbada di Kedang, setelah informasi tentang penyerahana tanah tersebut beredar ke tengah masyarakat. Reaksi bermunculan. Pada tanggal 24 Februari 2008, tercatat dua kejadian di 2 tempat berbeda.
· Di Peumole, pagi-pagi masyarakat berkumpul dalam suasana “panas” akibat mendengar berita penyerahan tanah pada tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen tersebut, melalui siaran Radio. Beberapa warga yang mendengar siaran berita tersebut meledak kemarahannya, dan memaki-maki. Kejadian itu mengundang perhatian warga tetangga, dan semakin lama semakin banyak warga yang berkumpul, untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka ingin “mengadili” Gaba Raha di rumahnya, tetapi beberapa tokoh masyarakat menenangkan dan mereka bersepakat mengirimkan Polikarpus Leuwayang dan seorang lagi untuk mendapatkan informasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Moting Lomblen, pada tanggal 21 Februari 2008 tersebut, di Lewoleba.
· Di Hobamatan, Desa Mahal I, desa tetangga Tuamado, yang masuk wilayah Kecamatan Omesuri, tua-tua Suku Odel mengadakan musyawarah adat, membahas dengan serius kasus penyerahan tanah di lokasi Wei Puhe tersebut, karena mereka mengetahui dengan pasti, tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari hak ulayat mereka Komunitas Adat Nalahading, dan sama sekali bukan merupakan hak ulayat dari ke 6 suku di Tuamado. Musyawarah adat Suku Odel memutuskan membatalkan penyerahan tanah tersebut. Keputusan membatalkan penyerahan tanah tersebut dituangkan ke dalam surat bernomor 01/SO/2008, tertanggal 24 Februari 2008, yang ditanda-tangani oleh Staphanus Mathur Odel, Kepala Suku, dan dua orangtua suku Odel lainnya, yakni Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel.
5. Pada tanggal 25 Februari 2008, 20 tokoh masyarakat Peumole berkumpul di rumah Bapak Edmundus Pala Lelangrian. Pertemuan mendengarkan laporan dari Polikarpus, yang bertugas mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerahan tanah. Karna Gaba Raha tidak hadir di dalam pertemuan itu, disepakati, perlu diselenggarakan pertemuan lagi, untuk meminta penjelasan dan pertanggung jawaban dari Gaba Raha.
6. Rabu, 27 Februari 2008, 2 orang utusan Suku Odel, yaitu Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel, datang ke Kantor Bupati dengan tujuan membatalkan penyerahan tanah ulayat mereka oleh ke 6 kepala suku Tuamado, dengan membawa surat pembatalan tersebut. Dengan alasan sedang sibuk Bupati menolak menerima mereka. Demikian juga Wakil Bupati. Wakil Bupati melalui pramutamu hanya menyuruh mereka menemui Kabag Ekonomi. Mereka menemui Kabag Ekonomi, Longginus Lega Ladoangin. Longgi menyatakan akan melanjutkan pernyataan sikap suku Odel tersebut kepada Bupati dan Wakil Bupati, dan meminta Kedua Utusan suku Odel untuk kembali ke kampung dan menunggu informasi lebih. Tetapi karena merasa tidak puas dengan perlakuan tersebut, mereka memutuskan untuk nginap untuk bertemu dengan Bupati pada hari berikutnya.
7. Kamis, 28 Februari 2008, Kedua utusan suku Odel, Leo dan Mikael Odel kembali mendatangi kantor Bupati. Tetapi mereka tidak berhasil menemui Bupati, karena Bupati dikatakan tidak berada di tempat. Ketika meminta bertemu Wakil Bupati, sekali lagi Wakil Bupati menolak untuk menemui mereka. Mereka kembali dengan perasaan sangat kecewa dan marah, karena merasa tidak dihargai.
8. Pada hari yang sama, Kamis, 28 Februari 2008, 3 Orang Penasehat Dewan Stasi Aliuroba, Paroki St. Maria Pembantu Abadi Aliuroba, yaitu Aloisius Rupa, Mikael Aba, dan Vinsensius Lewo, mendatangi Gaba Raha di rumahnya di Peumole, untuk mengklarifikasi berita penyerahan tanah oleh gaba Raha di Moting Lomblen, untuk lokasi tanah di sekitar Bean. Gaba Raha menjelaskan bahwa dia tidak menyerahkan hak ulayat, melainkan hanya menyatakan sikap netral, tidak pro dan tidak juga kontra tambang.
Ke 3 anggota Dewan Penasehat menawarkan kepada Gaba Raha untuk memberikan penjelasan kepada umat katolik di dalam gereja pada hari minggu, tanggal 2 Maret 2008, tetapi Gaba Raha menolaknya, karena merasa berat hati dan khawatir, dan meminta kesediaan Dewan Penasehat untuk menyampaikan penjelasan, bahwa Gaba Raha tidak pernah menyatakan dukungan terhdap kebijakan tambang atas nama Umat Katolik, sebagaimana informasi yang beredar di tengah masyarakat.
9. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00 Dewan Stasi Aliuroba dan 10 Ketua Basis Stadi Aliuroba mengadakan rapat, di ruang SDK Aliuroba. Rapat menyepakati memberhentikan Gaba Raha dari Jabatannya sebagai Ketua Dewan Stasi, yang bari dijabatnya selama 1 bulan, dan belum sempat juga dilantik.
10. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00-18.18 witeng, 5 suku dari Aliuroba, Desa Benihading I, menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus Penyerahan Tanah oleh 6 suku Tuamado. Ke 5 suku tersebut adalah: Suku Huung-ehaq, Eto-Ehaq, Beni-Ehaq, Wulakada, dan Peutula. Pertemuan dihadiri oleh ratusan warga suku yang berasal dari Benihading Leu Pitu. Pertemuan berlangsung di Ebang Suku Etoehaq di Aliuroba. Musyawarah adat tersebut mengecam dengan keras perbuatan ke 6 kepala suku tersebut, dan menyesalkan sikap Bupati Lembata, yang bertindak ceroboh, menerima penyerahan tanah ulayat, tanpa menyelidiki kebenaran dan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut, karena berimplikasi terhadap terjadinya keresahan, dan berpotensi menimbulkan konflik berdarah antar suku di Kedang.
Musyawarah ke 5 suku tersebut menyepakati:
· Membuat Surat Pernyataan Suku atas peristiwa penyerahan tanah tersebut, dan ditanda-tangani/dicap-jempol warga masing-masing suku.
· Mengutus 9 warga mewakili 5 suku, menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Bupati di Lewoleba.
11. Pada hari yang sama, minggu, 2 Maret 2008, sore, jam 15.00 berlangsung pertemuan warga Peumole di Rumah Gaba Raha. Pertemuan ini bertujuan meminta klarifikasi Gaba Raha. Andreas Leunamang, Kepala Suku “sulung”, mengecam perbuatan Gaba Raha sebagai tindakan sepihak. Dia mempertanyakan, mengapa pernyataan itu tidak didahului musyawarah adat di dalam kampung Peumole. Pertemuan berlangsung alot. Gaba Raha sengaja mengalihkan perhatian peserta, untuk hanya membahas soal ulayat. Pernyataan dukungan terhadap tambang dan penyerahan tanah oleh Gaba Raha, dengan tegas ditolak dan dinyatakan batal. Gaba Raha juga berjanji untuk membuat surat pernyataan penarikan kembali atas surat pernyataan dukungan terhadap tambang di Moting Lomblen tersebut.
12. Tanggal 2 Maret 2008, jam 11.30-14.00, di Leu Nahaq, Desa Panama, warga Leu Nahaq dan Waqio menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus penyerahan tanah oleh 6 suku dari Tuamado. Mereka menyepakati membuat pernyataan kecaman terhadap penyerahan tanah, dan meminta membatalkan penyerahan tanah Wei Puhe tersebut, dengan alasan ke 6 suku tersebut, tidak berhak atas tanah di Wei Puhe. Warga juga menyepakati untuk mengutus 3 orang warga menemui Bupati dan menyerahkan pernyataan tersebut. Ke 3 orang tersebut adalah: Anton Ado Lelangwayan, Anton Laba Ai dan Donatus Dato. Menurut rencana, ke 3 utusan tersebut akan menemui Bupati, pada hari Senin, 10 Maret 2008.
13. Senin, 3 Maret 2008 masing-masing ke 5 suku dari Aliuroba tersebut membuat surat pernyataan Kecaman dan penolakan terhadap penyerahan tanah tersebut, yang ditujukan kepada Bupati Lembata. Utusan ke 5 suku dari Aliuroba datang menyerahkan sendiri surat pernyataan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten. Utusan diterima Wakil Bupati Lembata, Senin, 3 Maret 2008, di ruang rapat Bupati. Wakil Bupati menerima penyerahan pernyataan sikap ke 5 suku tersebut, tanpa komentar. Hanya menyatakan “terima kasih”, dan “Pemerintah telah menerima pernyataan ini dengan ikhlas”. Wakil Bupati juga menolak tawaran untuk membuka dialog.
14. Selasa, 4 Maret 2008, bertempat di halaman depan Balai Desa Panama, Buyasuri, diselenggarakan Musyawarah Luar Biasa Masyarakat Adat Benihading Leu Pitu (Benihading 7 Kampung), Leu-Hapu (Mahal II), Hobamatan (Mahal I), Waq-Lupang (Atulaleng), Leu Tubung, Leu Walang (Tubung Walang), menanggapi keresahan dan kegelisahan masyarakat akibat penyerahan tanah yang dilakukan ke 6 kepala suku dari Tuamado dan Gaba Raha. Musyawarah dihadiri 600-an warga masyarakat, tua-muda, laki dan perempuan, berlangsung selama 8 jam, dari jam 11.15-19.15 witeng.
Substansi pembicaraan:
· Penjelasan tentang alasan mengapa musyawarah adat diselenggarakan
· Pembacaan Berita Acara Penyerahan Tanah 21 Februari 2008 di Moting Lomblen.
· Analisis Sosial, Politik, Hukum (Hukum Negara dan Hukum Adat: dari Stanis Kapo Lelangwayan, SH, Pius Kulu Beyeng, BA, Paulus Isa Leuweheq: para tokoh tua Kedang yang berdomisili di Lewoleba)
· Penuturan sejarah asal-usul tanah ulayat dari 3 tokoh adat, yakni Leonardus Leu Odel (Leu Hapu-Hobamatan), Lorensius Waka (Benihading Leu Pitu), dan Hendrik Tehe (Waq-Lupang), untuk menelusuri dan menegaskan hak-hak sejarah atas tanah ulayat di Wei Puhe dan sekitarnya. Sejarah suku dan tanah suku, yang terukir di dalam syair-syair adat Kedang, yang dituturkan oleh ke 3 orang tua ini, menegaskan Benihading-Nalahading yang memiliki kuasa atas tanah ulayat Wei Puhean sekitarnya , dan bukan ke 6 suku di Tuamado tersebut.
· Dialog tentang Kasus Penyerahan Tanah, Akibat hukum dari penyerahan tanah tersebut bagi masyarakat Kedang, & kaitannya dengan rencana investasi tambang.
· Musyawarah tentang jalan keluar dari persoalan penyerahan tanah serta implikasi hukum, politik dan sosial, bagi masyarakat. Meski suasana panas, tetapi para tua-tua adat berhasil meredahkan keresahan dan kemarahan massa, dan menuntun masyarakat menyepakati 17 butir Kesepakatan. (Lihat Lampiran berita acara)
15. Rabu, 5 Maret 2008, ke 12 tua adat, yang dipilih dalam musyawarah adat tanggal 4 Maret 2008, untuk menyelesaikan secara damai kasus penyerahan tanah, melalui mekanisme adat, sangat kecewa dengan sikap ke 6 kepala suku dari Tuamado, yang tidak menepati kesanggupan mereka untuk hadir di Balai Desa Panama, menyelesaikan Kasus tersebut, sesuai jani mereka pada 4 Maret 2008, kepada ke 3 utusan.
Setelah menunggu selama 3 jam, pada pukul 11.00 ke 12 tua adat memutuskan mengirimkan 3 utusan lagi untuk menemui dan memastikan kedatangan ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Ke 3 utusan tersebut adalah Thomas Toda Odel, Daswan Wulakada, dan Benediktus Beni Leuwayan.
Ke 3 utusan bertemu dengan Abdulah Beni, Benediktus Telu dan terakhir Kepala Dusun Tuamado, Aloysius Watang.
Abdulah Beni dalam dialog dengan ke 3 utusan membantah telah menyerahkan tanah ulayat di Moting Lomblen. Ketika diminta bukti berupa berita acara penyerahan tanah tersebut, Abdulah Beni, tidak bisa memberikannya, katanya ada di Kantor Bupati.
Ketika diminta untuk hadiri pertemuan musyawarah adat penyelesaian kasus, sebagaimana telah disepakati sehari sebelumnya, Abdulah Beni menolak untuk hadir. Dia beralasan jika lokasinya di Balai Desa Panama, situasi tidak aman bagi mereka. Benediktus Telu membungkam selama pertemuan dengan utusan tersebut. Sedangkan Kelapa Dusun Tuamado, Aloysius Watang, kembali menegaskan apa yang telah dikatakan oleh Abdulah Beni. Bahwa jika pertemuan di Balai Desa Panaman, situasinya tidak aman bagi mereka. Mereka menyatakan siap berhadapan dengan masyarakat Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang di kantor mana saja (maksudnya kantor Polisi, Pengadilan atau kantor pemerintah lainnya).
Ke 12 Tua Adat dan Warga yang hadir, merasa resah, kecewa dan menjadi berang terhadap sikap ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Tua adat kembali berupaya dan berhasil meredakan kemarahan warga Benihading Leu Pitu terhadap sikap ke 6 kelapa suku, yang tidak menepati kesepakatan sehari sebelumnya. Mereka merasa dipermainkan oleh sikap tersebut.
Musyawarah adat kemudian memutuskan:
· melanjutkan proses penyelesaian kasus tersebut melalui jalur hukum, dan untuk itu berangkat menuju Lewoleba, Kamis, 6 Maret 2008. Utusan ke Lewoleba terdiri dari 13 tua adat dari Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
· Menerbitkan Maklumat Pembatalan Penyerahan Tanah Ulayat Wei Puhe dan sekitarnya (Lihat lampiran), yang direncanakan akan diserahkan kepada Bupati Lembata, oleh 12 Tua Adat, dengan didampingi warga masyarakat dari 12 kampung di Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
16. Kamis, 6 Maret 2008, Tua-Tua Adat dari Benihading Leu Pitu, Leu Hapu-Hobamatan, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang sebanyak 13 orang, didampingi 2 anggota Baraksatu, berangkat menuju Lewoleba, untuk menempuh jalur hukum, memproses ke 6 kepala suku dari Tuamado.
Pada petang hari, jam 17.00-23.30, berlangsung musawarah para Tua adat, angota Baraksatu dengan Tokoh-tokoh masyarakat Kedang di Lewoleba, anggota FKTL, di Rumah kediaman Bpk Stanis Kapo Lelangwayan. Musyawarah menyepakati:
· Memproses secara hukum (pidana) ke 6 kepala suku ke Polres Lembata.
· Memberi Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan untuk mendampingi masyarakat di dalam proses hukum.
17. Juma`t, 7 Maret 2008, para tua adat menanda-tangani Surat Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan, sebagai pendamping hukum masyarakat adat Benihading-Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang..

Lewoleba, Jumat, 7 Maret 2008

Dibuat Bersama oleh:


Para Tua Adat:

· Hobamatan : Leonardus Leu Odel .................................

· Leu Hapu : Muhamad Amin Ea Pu`en ................................

· Leu Nahaq : Remigius Nuba ................................

: Benediktus Beni ..............................

· Waqio : Anton Ado Lelang Wayan .................................

· Wulakada : Yohanes Bubun Wulakada ...............................

· Aliuroba : Aloysius Rupa Etoehaq ................................

· Peumole : Andreas Leu Namang ...............................

· Leudawan Kobar : Lorens Waka Peuleu .............................

Barak Satu:

Ketua : Eman Ubuq ................................

Anggota : Johni Lelang Uneq ................................

Anggota : Theresia Peni Wulakada .................................

Anggota DPRD Lembata Daerah Pemilihan Kedang

Anggota : Aloysius U Uri Murin Etoehaq ..........................

Forum Komuikasi Tambang Lembata

Koordinator : Bediona Philipus ............................

Divisi Investigasi & Publikasi : Anton Pati Liman .............................

Selasa, 25 Maret 2008

Patung Bunda Maria Fatima Teteskan Air Mata Darah

“Anakku…Tolong Lembata Jangan Ditambang”

Kota Baru, Lewoleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Rabu, 19 Maret 2008, sejak sekitar pukul 10.00 Witeng dipadati ribuan umat Katolik. Mereka datang dari berbagai pelosok Pulau Lembata untuk menyaksikan keanehan yang tampak dari rumah seorang warga Kota Baru, Damianus Wadan. Bagaimana tidak? Dari bola mata Patung Bunda Maria dari Fatima, milik Damianus Wadan, tiba-tiba mengalirkan carian merah bak air mata darah.
Warga yang rata-rata umat Katolik meyakini kalau yang menetes itu adalah air mata darah. Peristiwa yang terjadi menjelang hari raya Paskah, kebangkitan Yesus Kristus, tentu saja, mengundang perhatian khalayak Lembata.
Aneh tapi nyata. Mujizat di kediaman Damianus Wadan tersebut langsung menjadi buah bibir warga Kota Lewoleba.
Yang lebih menggemparkan lagi, Maria Fatima Hayon –istri Robert Wadan, adik dari Damianus Wadan, seolah kesurupan dan berkata, “Anakku…Tolong Lembata jangan ditambang”. Kalimat itu keluar dari ibu dua anak ini sebanyak tiga kali.
Setelah itu dia menambahkan, “Kalau ditambang nanti Lembata tengelam”. Pesan kedua ini diucap sebanyak tujuh kali berturut-turut lalu diakhiri dengan nyanyian ofos --sebuah lagu umat Katolik yang dinyanyikan untuk mengenang kisah sengsara Tuhan Yesus, sebanyak tujuh kali.
Demikian dikisahkan Maria Wadan, yang ketika itu setia mendampingi Maria Fatimah Hayon dalam peristiwa tersebut sambil menggendong anak Fatimah Hayon yang baru berusia dua bulan.
Ditambahkan, setelah menyaksikan peristiwa itu Maria Fatimah Hayon nampak seperti kerasukan. Sepanjang hari ini ia sama sekali tak merasa lapar. Bahkan, anaknya yang baru berusia dua bulan pun tidak disusui.
Nah, setelah bertemu dan menyampaikan pesan yang katanya diterima dari Bunda Maria, kepada Kadis Pertambangan dan Energi Kabupaten Lembata, Rafael Hadjon yang datang bersama anggota DPRD Kabupaten Lembata, Lusia Djebe, barulah Maria Fatima Hayon minta makan. Baginya, beban pesan dari Bunda Maria yang sejak pagi diterima dan dipikul terasa lega karena telah disebarkan. Apalagi, langsung kepada Kadis Pertambangan dan Energi bersama salah seorang wakil rakyat itu. Koq?
Seorang tokoh masyarakat Lewoleba ketika menyaksikan kejadian itu mengatakan pesan yang disampaikan Maria Fatima ini harus dihayati oleh masyarakat Lembata, khususnya Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk bersama anggota DPRD Lembata. “Sebagai umat Katolik, harus dihayati secara serius. Apalagi, menjelang pesta Paskah. Ini harus dilihat sebagai peringatan,” ujarnya.

Kronologis peristiwa:
Sesungguhnya, tanda-tanda ajaib ini telah terjadi sejak Maria Fatima Hayon ini masih berada di Waibalun-Larantuka, sepekan silam. Tepatnya, hari Sabtu, 15 Maret 2008, istri Robert Wadan tersebut menerima bisikan dan menyuruhnya berangkat menuju ke sebuah tempat di kaki gunung Ile Mandiri.
Disana, ia bertemu dengan seorang perempuan paruh baya yang tak dikenal. Perempuan itu memberinya sebuah Rosario. Rosario itu memang sangat unik karena terdapat dua salib yang tergantung berbeda dengan Rosario lainnya sebagaimana yang dipegang dan dimiliki umat Katolik. Tiba-tiba perempuan itu menghilang. Ia pun merasa aneh, tanpa sadar seakan diarahkan untuk pulang ke rumahnya.
Sejak memegang Rosario itu, perasaan ibu dua anak ini selalu dihantui oleh bayang-bayang yang nampak berupa sinar putih lalu menghilang. Itu terjadi berulang-ulang. Karena merasa seakan dikejar-kejar, akhirnya Minggu, 16 Maret 2008, lalu ia memutuskan untuk datang ke Lewoleba menemui keluarga dan suaminya, Robert Wadan di Waikomo-Lewoleba. Ketika berada di pelabuhan laut Larantuka tiba-tiba ada bisikan yang mengatakan, “Pulang dan ambil bawa Rosario, kalau tidak kamu akan menuai bencana.”
Bisikan itu muncul karena Rosario yang dimaksud itu ditinggalkan didalam kamar rumahnya di Waibalun. Namun demikian, Maria Fatima melawan bisikan itu. Ia nekad berlayar ke Lewoleba, tanpa kembali mengambil Rosarionya. Nah, dalam perjalanan motor laut yang ditumpangi itu nyaris tenggelam.
Sejak tiba di Waikomo dan berkumpul bersama keluarga, sang ibu ini nampak masih terus dikejar-kejar oleh bisikan itu. Merasa tidak nyaman, Maria Fatima Hayon memutuskan untuk segera menemui Helena Witak --istri dari Damianus Wadan, kakak suaminya.
Kepada Helena, Maria Fatima mendesak untuk segera membeli patung arca Bunda Maria Fatima. Permintaan itu pun dipenuhi Helena pada Selasa (18/3). Ia membeli Patung Bunda Maria sesuai pesanan di Toko Titen, Waikomo.
Keesokannya, tepat pada hari Rabu (19/3) sekitar pukul 10.00 Wita, Maria Fatima melakukan doa kusuk di hadapan patung yang baru dibeli itu.
Ketika mengucapkan satu kali doa Bapa Kami dan 3 kali doa Salam Maria, tiba-tiba di mata patung tersebut mengalir air mata darah. Ketika itu juga muncul cahaya mengelilingi patung Bunda Maria itu. Karena ketakutan, ibu dua anak ini lari keluar kamar dan memanggil Helena Witak untuk menyampaikan apa yang dilihatnya. Dan, pada diri Maria Fatima laksana orang yang sedang kerasukan sambil menyanyikan lagu ofos. Di sela-sela nayian itu, keluarlah kata-kata; “Anakku…. Anakku…. Anakku…. Tolong Lembata jangan ditambang”.
Saat itu, Maria Wadan lari menemui Romo Hiro di Dekenat Lembata untuk menyampaikan peristiwa tersebut. Romo Hiro pun menuju ke tempat kejadian. Namun Romo Hiro hanya menatap polos tanpa komentar apa-apa.
Ceritera semakin berkembang luas. Tidak lama berselang rumah Damianus Wadan, Karyawan PLN Ranting Lewoleba, di Kota Baru Atas, Lewoleba dipadati ribuan umat yang bergegas menyaksikan peristiwa ajaib itu.
Lepas dari kontroversi dari peristiwa tersebut, ribuan umat Katolik di Lewoleba tetap membanjiri kediaman Damianus Wadan. Aparat kepolisian dari Polres Lembata pun ambil bagian untuk mengamankan situasi. Peziarah yang datang diatur masuk satu per satu ke kamar untuk menyampaikan ujud khusus di hadapan patung Bunda Maria Fatima yang meneteskan air mata darah tersebut.
Asal tahu saja, peristiwa ini merupakan yang kedua kalinya. Tahun lalu, persis pada masa Pra Paskah juga, terjadi penampakan di depan Gereja Katolik Wangatoa. Saat itu, muncul cahaya berupa salib muncul di pucuk pohon kelapa, yang disaksikan pernah kali oleh seorang bocah berusia delapan tahun.(laporan: petris/elias/san)

Jumat, 22 Februari 2008

Lodan: Pemkab dan DPRD Tipu Rakyat Ile Ape

“Kecamatan Ile Ape Status Quo”

n Lodan: Pemkab dan DPRD Tipu Rakyat Ile Ape

Laporan: Eli Making/Demos NTT

Inilah sikap tegas masyarakat adat Lewohala yang tergabung dalam Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang. Mereka mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya adalah mengusulkan kepada Bupati Lembata untuk tidak melaksanakan Perda Kabupaten Lembata Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kecamatan Ile Ape. Pun, mereka mengingatkan untuk tidak meresmikan Kecamatan Ile Ape Timur.

Tak cuma itu. Masyarakat adat Lewohala juga meminta Bupati Lembata untuk meninjau kembali Perda Nomor 18 Tahun 2007 dengan memperhatikan wilayah desa, aspek pendekatan pelayanan, dan aspek historis.

“Sambil menunggu peninjauan kembali Perda Nomor 18 tahun 2007 maka kondisi kecamatan Ile Ape tetap status quo sebagaimana telah termuat didalam surat pernyataan nomor: 01/PB-WU/I/2008,” tandas Paulus Kupang, SH juru bicara Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, kepada wartawan.

Dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh enam puluh dua wakil masyarakat adat Lewohala, mereka menyatakan Perda Kabupaten Lembata nomor 18 Tahun 2007 tidak tumbuh atau berakar pada aspirasi masyarakat Ile Ape. Dengan demikian sudah pasti Perda tersebut tidak dapat dipatuhi dan dilaksanakan karena penetapan peraturan daerah tersebut sangat bertentangan dengan hakekat pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Perda Pemekaran Kecamatan tidak meperhatikan aspek pendekatan pelayanan sebagai aspek utama dalam menetapkan pemekaran kecamatan dan Perda tersebut tidak memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat Ile Ape, khususnya Desa Jontona dan Desa Todanara,” kata Paulus.

Selain itu, lanjut mantan pejabat pada lingkungan Setda Kabupaten Lembata ini, aspek pendekatan pelayan pemerintah juga mestinya mempertimbangkan aspek sosial budaya dan aspek historis sebuah wilayah. Anehnya, Pemekaran Kecamatan Ile Ape tidak mempertimbangkan faktor itu. Kecamatan Ile Ape sejak dulu sudah dibagi dalam dua wilayah, yakni wilayah Wuring dan Wilayah Ebang atau wilayah Nuba Pito dan Nara Lema.

Wilayah Nuba Pito meliputi Lamawolo, Lamatokan, Lamau, Au Lesa, Waimatan, Lamagute, Napasabok, Bunga Muda, Desa Ama Kaka, dan Tanjung Batu Waowala. Sedangkan, wilayah Nara Lema terdiri dari Desa Jontona, Todanara, Watu Diri, Muruona, Laranwutun, Kolontobo, Petuntawa, Desa Tagawiti, Dulitukan, Palilolon, dan Kolipadan.

Dalam pemekaran kecamatan, menurut mereka, secara diam-diam Desa Jontona dan Todanara dimasukkan ke wilayah Kecamatan Ile Ape Timur yang adalah wilayah Nuba Pito. Padahal, Desa Jontona dan Todanara merupakan icon budaya Lewohala. “Pelaksanaan ritual adat pesta kacang Lewohala diawali oleh masyarakat di kedua desa ini,” tegas Paulus, mengingatkan.

Dikatakan bahwa Lewohala merupakan sebuah rumah besar yang memiliki tujuh kamar, yang dihuni warga kampung Jontona, Todanara, Watudiri, Muruona, Larawutun, Kolontobo, dan Petuntawa. “Jika kedua kamar di rumah Lewohala ini dibongkar, sama dengan meremehkan budaya Lewohala dan mengancam kerukunan masyarakat adat Lewohala,” tandasnya.

Untuk itulah, sambung dia, “Kami sebagai anak tanah Lewohala tidak setuju kalau dua desa, yaitu desa Jontona dan Todanara terlepas dari wilayah adatnya sendiri yakni Lewohala.”

Ketika disinggung apakah dirinya melihat ada kepentingan pribadi dalam pembentukan Kecamatan Ile Ape Timur, Paulus mengaku belum tahu. Ya, “Kami belum tahu ada kepentingan apa, dan jangan karena ada kepentingan tertentu, lalu korbankan rakyat,” ujarnya, menegaskan.

Pada kesempatan yang sama, Stefanus Anton Making alias Lodan mengingatkan bahwa jarak dari Desa Jontona ke pusat Kecamatan Ile Ape Timur adalah 12 kilometer. Sedangkan, dari Jontona ke pusat Kecamatan Ile Ape hanya 5 kilometer. “Jadi bagaimana mungkin pemekaran kecamatan dikatakan sebagai pendekatan pelayanan?” tegasnya, heran, mengomentari argumentasi sejumlah oknum anggota Dewan dan Pemkab Lembata.

Diakui bahwa sebelum pemekaran kecamatan itu telah ada kesepakatan dalam rapat sosialisai rencana pemekaran kecamatan yang dilakukan di Desa Ebak. “Kesepakatan ketika itu adalah pembagian wilayah kecamatan sesuai pembagian wilayah yang telah ditetapkan sejak jaman nenek moyang, yakni wilayah Nuba Pito pada satu pihak, dan wilayah Nara Lema pada pihak lain. Dalam kenyataannya, ditetapkan lain,” tegas Lodan.

Karena itu, “Saya menganggap pemerintah dan DPRD Lembata telah menipu rakyat Ile Ape karena hadir dalam rapat ketika itu seluruh Kepala Desa, BPD, tokoh masyarakat, dan tokoh adat se-Kecamatan Ile Ape,” kata Lodan. (*)

Komunitas Adat Lewohala “Duduki” DPRD Lembata

* Bupati Diduga Menghindar, Ruang DPRD Kosong

Laporan: Elias Keluli Making

Praktek politik masa lalu yang acapkali top dow (dari atas) sudah tidak jamannya lagi. Masyarakat bersikeras menolak keputusan yang dianggap mengganggu keutuhan komitas adat. Jika Leragere dan Kedang menolak kebijakan soal rencana investasi tambang, kini giliran komunitas adat Lewohala, kecamatan Ile Ape menolak keputusan soal pembentukan Kecamatan Ile Ape Timur. Terus?

Masyarakat adat Lewohala yang terhimpun dalam Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, Kamis (31/1/2008) memadati ruang lobi Kantor Bupati Lembata. Sebelumnya, mereka sudah menyurati Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk. Tapi, apa lacur? Mereka harus menelan kecewa. Pasalnya, Bupati Manuk sedang berada di luar daerah.

Ya, “Kami tidak dapat bertemu dengan Bupati Lembata. Padahal, tiga hari sebelumnya Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang sudah mengirim surat kepada Bupati Lembata dan DPRD menyampaikan niatan masyarakat untuk beraudiens dengan Bupati dan DPRD terkait Pemekaran Kecamatan Ile Ape yang telah ditetapkan melaui Perda Kabupaten Lembata nomor 18 tahun 2007 itu,” jelas juru bicara Forum Peduli Budaya Wuring-Ebang, Paulus Kupang, SH kepada pers di lobi Kantor Bupati.

Dia menjelaskan bahwa masyarakat yang datang adalah utusan yang mewakili tujuh desa dalam wilayah adat Lewohala. Yakni, Desa Petuntawa, Kolontobo, Laranwutun, Muruona, Watodiri, Todanara dan Jontona.

Paulus menduga ada unsur kesengajaan dari Bupati Manuk untuk menghindari pertemuan dengan komunitas adat Lewohala. Ya, “Mungkin saja bupati sengaja menghindar, karena kami sebelumnya sudah mengirim surat untuk menyampaikan maksud untuk bertemu dengan Bupati,” ujarnya, kesal.

Jika bukan kesengajaan, sambung Paulus, mestinya bupati sudah memberikan rekomendasi kepada salah seorang pejabat di lingkup Setda Kabupaten Lembata untuk menerima kedatangan rombongan masyarakat adat Lewohala. “Tapi kenyataannya tidak ada,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa dirinya sudah menemui Asisten I bidang pemerintahan Setda Lembata, Drs. Stanis Nunang, dan memintanya untuk mewakili pemerintah Kabupaten Lembata menerima surat pernyataan dari masyarakat adat Lewohala. “Namun jawabannya sangat mengecewakan kami. Katanya, dirinya tidak diberikan wewenang oleh bupati untuk menerima surat pernyataan masyarakat,” tandas Paulus, prihatin.

Ke DPRD

Tak diterima seorangpun pejabat pemerintah, para wakil masyarakat adat Lewohala menuju ke Gedung DPRD Lembata, yang terletak bersebelahan dengan kantor Bupati Lembata. Sayangnya, mereka kembali dibuat kecewa. Pasalnya, tak satupun anggota Dewan yang berhasil ditemui. Ruang sidang gedung Peten Ina tak berpenghuni kecuali pegawai sekretariat Dewan.

Dari para staf Sekretariat Dewan diperoleh informasi bahwa para wakil rakyat terhormat sedang “turun ke bawah” alias turba sampai Sabtu (9/2/2008). Wakil rakyat akan kembali lagi berkantor pada Senin (11/2/2008). Tak ayal lagi, Ketua Forum Peduli Budaya Wuring Ebang, Stefanus Anton Making alias Lodan naik pitam. Dia langsung memanggil semua anggotanya untuk berkumpul di ruang sidang DRRD Lembata. “Anggota DPRD terhormat semua tidak berada di tempat. Jadi sekarang kita sebagai masyarakat yang memilih mereka, masuk dan bersidang ini rumah kita,” tandasnya dengan kesal.

Lodan pun melangkah menuju meja pimpinan sidang, didampingi dua orang anggota forum. Dia langsung duduk di kursi yang biasa diduduki ketua DPRD Lembata, Drs. Petrus Boliona Keraf ketika memimpin sidang Dewan. Yang menarik, dua pendampingnya mengambil posisi duduk di kiri kanan meja pimpinan sidang.

Dari meja pimpinan sidang, Lodan berkata, “Ini sebuah rekayasa. Bagaimana mungkin rumah rakyat ditinggal kosong tak berpenghuni. Kalaupun turba, mestinya ada salah seorang pimpinan yang tinggal.”

Kejadian ini tidak berlangsung lama. Utusan masyarakat Lewohala, kemudian keluar ruangan dengan wajah memendam kesal.

Saat di ruang lobi gedung DPRD Lembata, Paulus Kopong langsung menemui wartawan. “Walaupun DPRD sedang menjalan tugas diluar tetapi rumah rakyat ini tidak boleh dibiarkan kosong. Ini adalah cambuk bagi wakil rakyat terhormat. Kami melakukan ini karena kami merasa tidak dihargai oleh DRPD dan Pemerintah,” tandasnya.

Alhasil, surat pernyataan yang dibawa untuk diserahkan kepada Pemkab dan DPRD Lembata tidak berhasil diserahkan langsung ke tangan Bupati dan Ketua DPRD Lembata. Mereka bersikukuh menolak Perda 18 Tahun 2007. (*)

Rabu, 06 Februari 2008

Pejuang dan Politisi

Oleh: Fredy Wahon

“Pagi pejuangku! Kami bangga punya engkau. Selamat ya! Teguhlah pada janjimu pada rakyat! Sayang selalu dari mama dan anak-anak.”
SAYA tertegun membaca deretan kata-kata di “samsung”ku yang mulai usang dimakan usia. Maklum, pesan singkat itu datang tepat pada saat saya memutuskan untuk mencurahkan perhatian dan mengayun langkah di rimba raya politik. Sehingga pesan dari perempuan yang dalam kurun waktu satu dekade ini menjadi teman hidup saya, tentu saja, menjadi kekuatan mahadhasyat bagi langkah perjuangan. Untuk apa?
Ziarah hidup memang tidak pasti. Eyang Soeharto yang di masa mudanya tampak gagah berani memimpin pasukan perang, akhirnya harus membujur lemas di Rumah Sakit Pusat Pertamina sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya terakhir. Kekayaan yang dikumpulkan –yang diduga sebagai hasil korupsi—selama 32 tahun memerintah, tak satupun yang dibawa ke liang lahat kecuali kain kafan. Tapi, berita kematiannya sungguh menyita pemberitaan seluruh media massa, terutama televisi dalam negeri. Beberapa rekan saya yang pernah satu atap di Jalan Sam Ratulangie No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, menyempatkan diri untuk melayat ke rumah duka Eyang Sepuh di Jalan Cendana Nomor 8, tempat jenazah sang otoriter itu disemayamkan, tak jauh dari “markas pergerakan” kami tahun 1998 silam.
“Apakah ini harus disyukuri atau dimaafkan dan didoakan keselamatannya?” Itulah pesan singkat yang datang dari rumah duka. Tentu saja, dari seorang sahabat yang bersama-sama bergulat dengan teriknya matahari, dan ancaman senapan di tahun 1998. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Saya cuma merenungkan kembali perjalanan hidup Eyang Sepuh dari masa mudanya hingga akhirnya wafat. Perjalanan hidup seorang pejuang yang akhirnya menjadi politisi yang sungguh otoriter.
Saya sendiri hanya satu kali berjabat tangan dengan Eyang Sepuh, ketika kebetulan saya berdiri disamping Uskup Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB dalam menerima rombongan Pak Harto untuk meresmikan sejumlah proyek nasional di Timor Timur, dan sekaligus meresmikan patung Kristus Raja di bukit Fatucama, Dili, Timor Leste. Telapak tangan Eyang Sepuh sungguh lembut, seolah tak pernah memegang benda keras. Wajahnya pun ramah, bersahabat. Tapi, siapa yang menyangka, kalau dari tangan itu pula tanda tangannya melahirkan sejumlah keputusan yang ademokratis. Keputusan yang bahkan tak sedikit melahirkan duka derita anak bangsa.
Pembantaian terbesar semasa pemerintahannya adalah pembunuhan aktifis Partai Katolik Indonesia (PKI) beserta antek-anteknya, setelah partai politik pemenang pemilu itu dinyatakan sebagai partai terlarang, tahun 1965. Dalam buku “PALU ARIT di Ladang Tebu”, sejarahwan Hermawan Sulistyo melukiskan bagaimana orang-orang PKI dihabisi. Diperkirakan sekitar 78.000 – 500.000 orang dibantai dalam kurun waktu 1965-1966.
Pak Harto benar-benar kejam. Lawan-lawannya disingkirkan. Sang pejuang yang jadi politisi kelas dunia itu, berubah jadi sangat otoriter. Ada tiga kelompok pendukungnya, yakni ABRI (sekarang TNI dan Polri), Golkar dan Birokrasi. Tiga kekuatan ini sangat dikuasai Pak Harto. Tak ada gubernur yang tak tanpa restu cendana. Semuanya menjadi sangat terpusat. Sentralistik.
Nah, politik memang selalu menggoda untuk berkuasa. Dan, kata Lord Action, kekuasaan cendrung korup. Kekuasaan yang terlampau lama hanya akan mengubah sosok seorang pemimpin menjadi koruptor besar. Nafsu besar untuk membangun, bisa hancur oleh nafsu orang-orang di pusaran kekuasaan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Maka, berhati-hatilah mereka yang hendak akan ikut bertarung dalam Pilkada Gubernur atau Bupati di sejumlah daerah di NTT, tahun ini.
Ketika sedang asyik membangun diskusi dengan kelompok tani hutan di Lereng Labalekang, Pulau Lembata, saya kembali menerima pesan singkat dari perempuan yang telah melahirkan anak-anakku.
“Saya sudah habiskan buku Soe Hok Gie. Saya kurang hati karena dia mengaku atheis. Tapi, saya jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah saya temui ini. Mengagumi kecerdasannya, keberaniannya, keteguhannya, perjuangannya membela yang benar. Juga, kecintaannya pada alam. Saya tergila-gila pada ‘kegilaannya’ memandang hidup. Lalu, pada hujan setengah lebat sore ini, saya membatin: TUHAN, saya mau melahirkan seorang Soe Hok Gie, sang demonstran.”
Sungguh, saya tak menyangka kalau ngidam buku Soe Hok Gie, telah membuat istri saya tergila-gila pada demonstran yang meninggal di usia muda itu. Tapi, kepadanya saya mengingatkan bahwa pejuang tak selalu bisa menikmati hasil perjuangannya, persis seperti Soe Hok Gie yang mati muda. Atau, juga pejuang Bolivia sekaliber Nestor Paz, gerilyawan yang melihat penindasan, kekejaman dan kekejian imperialisme sebagai musuh yang harus ditumpas. Berbekal niat untuk menegakkan keadilan, Nestor Paz memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan memanggul senjata.
Juga, kepada istri saya, saya mengingatkan bahwa ibunda seorang demonstran harus teguh, kuat, dan tidak jantungan. Sebab, hari-hari yang akan dilaluinya akan penuh dengan ancaman dari perkauman yang terusik. Tapi, apa jawabnya?
“Saya yakin, mungkin Dia yang akan mewarisi darah cerdas, pemberani, demonstran, punya ayahnya. Gie punya kesamaan dengan ayah dari anak-anak saya, sebelum dia terseret ke dunia politik. Itulah bedanya Gie dengan seorang Fredy. Sebab saya juga yakin kalau Gie tidak mati di usia 27 tahun, dia tidak akan memilih hidup sebagai politisi. Dia akan memilih hidup sebagai seorang dosen dan wartawan (penulis). Dengan begitu, dia menjadi orang-orang bebas.”
Duh! Saya katakan kepada mantan wartawati Harian Pos Kupang ini bahwa politik sebetulnya jalan bagi para pejuang untuk memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. Kekuasaan politik harus direbut oleh orang-orang yang peduli pada rakyat. Peduli pada demokrasi. Peduli pada penegakan hukum. Peduli pada hak-hak azasi manusia. Seperti kata Bung Kanis Pari (alm), “Anakku! Kau mewarisi jiwa orang-orang pemberani, yang basah oleh keringat, air mata dan darah. Tapi, kau masa bodoh dan tidak menentu. Sekaranglah waktunya, kau merebut warisan itu dengan kebajikan dan pengorbanan.”
Ya, itulah yang harus diperjuangkan dalam merebut kekuasaan. Bukan dengan uang untuk membeli suara rakyat. Juga, bukan dengan tipu muslihat untuk merampas kekuasaan. Pun, bukan dengan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan politik. Dengan begitu, kekuasaan politik bisa berjalan pada aras yang benar: demi kemajuan masyarakat yang dipimpin. Iya kan? (*)